Pemuda Sleman Bentuk Gerobak Angkringan untuk Taman Baca Masyarakat (TBM)
"Bertemu dengan banyak orang, kenal dengan orang baru, memiliki teman yang sevisi, adalah keberkahan yang tak ternilai bagi saya,
Penulis: Taufiq Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - "Bertemu dengan banyak orang, kenal dengan orang baru, memiliki teman yang sevisi, adalah keberkahan yang tak ternilai bagi saya," begitu ungkapan pemilik Taman Baca Masyarakat (TBM) Imam Syaiful Wicaksono (24), setelah hampir empat tahun bergelut dengan gerakan sosial di kampungnya.
Iman telah mendirikan TBM yang diberi nama Angkringan Uyee sejak Februari 2018 lalu.
Nama 'Angkringan Uyee' dipilihnya untuk menyimbolkan kesederhanaan dan merakyat.
Inisiatif itu diambil Imam lantaran resah dengan keadaan rendahnya minat baca masyarakat di sekitarnya.
Pada tahun 2018 itu, ia akan segera lulus dari kuliahnya di jurusan manajemen Universitas Islam Indonesia (UII).
Namun ia merasa ada yang masih kurang sreg dihatinya, ada keinginan untuk berbuat sesuatu untuk kampung halamannya, Desa Ngangkruk, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman.
Baca juga: UPDATE COVID-19 di Klaten: 71 Pasien Dinyatakan Sembuh Hari Ini
Kemudian ia melihat gerobak angkringan yang mangkrak di rumahnya, dari sana Imam merespon gerobak tersebut menjadi taman baca.
Lalu ia menyusun satu persatu buku yang dimilikinya, di atas tempat yang biasanya menyuguhkan nasi kucing dan mendoan.
Ia juga banyak mendapat donasi buku dari teman-temannya di kampus atau temannya ketika sekolah, untuk menambah koleksi di tempatnya.
Padahal jika ia berpikir untuk berjualan angkringan, bukan hal yang mustahil dagangannya laku, lantaran tempatnya hanya sepelemparan batu dari kampus UII Jalan Kaliurang.
Tapi kata hati lebih kuat untuk mendermakan gerobak itu untuk gerakan sosial di kampungnya.
Alasannya sederhana, ia juga merasa resah dengan keadaan mahasiswa kiwari yang sering melupakan kampung halamannya.
Lebih parah lagi tidak mau ikut kegiatan di kampung, sampai tidak mengenal tetangga di samping rumahnya sendiri.
"Jangan juga singa di kampus tapi jadi jadi kucing di kampung halaman," kata Imam, mengutip kata-kata seseorang yang diingatnya hingga sekarang.
Pemilihan gagasan ini didasari keinginan Imam untuk memberi solusi sederhana bagi masyarakat dalam bidang pendidikan.
Bagi Imam yang mengaku terlambat untuk gemar membaca, dia ingin mengajak masyarakat sekitar untuk gemar membaca sejak dini dengan TBM ini.
Selain itu, TBM Angkringan Uyee juga biasa menjadi tempat bersilaturahmi dengan teman-temannya, bahkan ia sering mendapati orang yang mengajak membuka forum diskusi di sana.
"Sering ada temen-temen organisasi kampus ke sini cuma buat buka diskusi," kata pria yang hobi main catur ini, Senin (15/2/2021).
Ia juga beralasan, tempatnya bisa dijadikan tempat nongkrong yang murah, karena tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam seperti ketika nongkrong di kafe-kafe kekinian.
Setelah dilihat banyak teman-temannya, Iman terkadang mendapat ajakan untuk berkolaborasi dengan berbagai organisasi kampus.
Hal ini juga membuat TBM Angkringan Uyee mulai membuat program kerja, kebanyakan program literasi dibuat Iman dan rekan-rekan dengan konsep permainan untuk anak-anak.
Selain itu ada program Perpustakaan Keliling yang memboyong koleksi buku di TBM ke kampung-kampung yang telah berkoordinasi dengannya.
Tempat-tempat yang pernah dikunjungi antara lain, Candi Karang, Candi Winangun, Karang Jenjem, hingga lereng merapi.
"Ketika aku menjalankan hal ini merasa lebih hidup," ucap Imam.
Cara Hidup
Di samping kegiatannya dalam gerakan sosial, imam juga tetap berbisnis untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Pria kelahiran 20 April 1996 ini juga menjual buku-buku baru dari kerjasamanya dengan beberapa penerbit di Yogyakarta.
Ia memasarkan bukunya di loka pasar, lalu mengontak penerbit untuk mengirimkan buku tersebut ke alamat yang ia catat.
Terkadang Imam juga mesarkan dengan cara biasa, orang datang ke rumah, melihat buku mana yang dijual, lalu terjadi transaksi.
Selain itu, Imam juga membuka bimbel untuk SD,SMP,SMA di rumahnya. Tenaga pengajarnya adalah kebanyakan teman Imam semasa SMA.
Semua mata pelajaran yang diujian nasionalkan tersedia di sana.
Ia juga bercerita, jika semula bimbel itu hanya memberi bantuan biasa pada adik kelasnya yang akan menghadapi ujian sekolah.
Lama kelamaan bimbel itu berkembang, dan memiliki tenaga pengajar yang memang ahli di bidangnya.
Anak-anak yang bergabung di sana juga mau memberi iuran untuk kesejahteraan para mentornya.
Baca juga: Bappeda DIY: Belanja Pemda Harus Ditingkatkan untuk Mengurangi Angka Kemiskinan
Izin Orangtua
Jika ditarik ke belakang, Imam sebetulnya tidak diizinkan oleh orangtuanya fokus pada TBM, karena mereka melihat, Imam seharusnya bekerja sehabis lulus kuliah.
Namun hal tersebut tidak menyurutkan langkah Imam untuk melanjutkan tujuannya.
"Kalau bekerja formal, jam 7 samapi jam 4 kerja, gak bisa interaksi banyak orang, kalau gini kerja dapat, interaksi juga dapat, saya bisa dapat banyak rezeki juga karena punya banyak teman," pungkasnya.
Hari demi hari dilewatinya, sembari memberi pengertian pada orangtua untuk tetap mendukung apa yang diinginkan Imam.
Setelah melewati banyak proses, dan Imam membuktikan bisa tetap bekerja serta mendapat uang, orang tua mulai mendukung.
Sampai-sampai, tempat TBM yang semula berada di bawah pohon depan rumah, dan jika turun hujan orang-orang di sana harus berteduh, orangtua Imam rela merenovasi halaman rumah mereka dengan kanopi dan diberi lantai agar tidak becek ketika basah. (tsf)