Catatan Akhir Tahun 2020 LBH Yogyakarta, Kasus Kekerasan Seksual Marak Terjadi

Selama tahun 2020, kekerasan seksual masih menjadi isu yang cukup dominan, melihat dari catatan akhir tahun 2020 yang baru saja dirilis

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
via Tribunnews.com
Ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Selama tahun 2020, kekerasan seksual masih menjadi isu yang cukup dominan, melihat dari catatan akhir tahun 2020 yang baru saja dirilis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Kamis (4/2/2021).

Dalam catatan tersebut, LBH Yogyakarta menerima enam aduan kasus kekerasan seksual yang dikategorikan dalam dua bentuk.

Dua bentuk itu adalah Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online (KGBO) dan kekerasan seksual dalam komunitas.

“Meski saat ini, sistem hukum Indonesia belum mengakui dan mengatur bentuk-bentuk KBGO sebagai tindak pidana, tapi bagi kami cukup penting untuk melakukan identifikasi terhadap setiap tindakan dan bentuk kekerasan seksual di dunia maya,” ujar Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, Kamis (4/2/2021).

DPKP DIY Sebut Dampak La Nina Akan Pengaruhi Hasil Produksi Pertanian

Menurut LBH Yogyakarta, ada banyak bentuk dan jenis KBGO, seperti doxing, pendistribusian foto atau video pribadi, pelecehan seksual siber, dan lain sebagainya. 

Diketahui, morphing adalah pengubahan suatu gambar atau video dengan tujuan merusak reputasi orang yang berada di video tersebut.

Salah satu kasus yang ditangani adalah kasus IM, mahasiswa berprestasi yang sempat merebak di pertengahan tahun 2020.

Hingga 4 Mei 2020, jumlah aduan yang diterima LBH Yogyakarta beserta jaringan mencapai 30 orang tentang IM.

Modus yang dilakukan IM menurut data yang dihimpun dari para korban adalah ia sering mengarahkan pertanyaan sensual kepada korban.

Dalam beberapa kasus panggilan video, pelaku menunjukkan alat kelamin pada korban. 

Pohon Tumbang dan Atap Terbang Terjadi di Beberapa Titik Kota Yogyakarta

Bahkan, beberapa di antara korban mengalami kekerasan seksual secara fisik hingga percobaan pemerkosaan.

Relasi pelaku dengan para penyintas mayoritas adalah teman kuliah, senior-junior di kampus atau di komunitas, bahkan beberapa penyintas adalah fans pelaku.

“Prinsip yang kami pegang dalam advokasi kekerasan seksual, keinginan dan keputusan penyintas adalah yang utama dan harus dihormati. Dipenuhinya tuntutan penyintas oleh pelaku merupakan salah satu upaya bagi pemulihan psikologis penyintas,” tandasnya. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved