Yogyakarta

Klaim Biaya Perawatan COVID-19 Bermasalah, RS Swasta di DI Yogyakarta Menjerit

Sejak dilanda pandemi COVID-19 biaya operasional rumah sakit membengkak akibatnya kondisi rumah sakit swasta di DIY kini di ujung tanduk.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Suluh Pamungkas
ilustrasi 

Ketiga, meminta subsidi dari yayasan untuk melanjutkan operasional baik itu belanja obat-obatan maupun keperluan lainnya.

Keempat, membuka donasi kepada masyarakat dan terakhir efisiensi kerja oleh para karyawan.

"Kalau efisiensi ini ya pelayanan tetap buka tapi hanya setengah. Misalnya untuk biaya operasional operasi di tengah pandemi ini tentu harus nambah apd dan sebagainya, nah hal semacam itu yang kami siasati," terang Bima.

Baca juga: Kurangi Beban RS Rujukan Covid-19, Sri Sultan HB X : OTG Tak Harus Dirawat di Rumah Sakit

Adakah UGD yang Tutup?

Sejak Desember kemarin, 16 persen dari total 56 rumah sakit swasta anggota ARSSI DIY sudah mengalami penutupan UGD.

Data terakhir pada 28 Januari kemarin, data tersebut meningkat hingga 32 persen rumah sakit swasta menutup pelayanan UGD.

"Artinya jarak satu bulan saja naik menjadi 32 persen. Mereka menutup pelayanan UGD," tuturnya.

Penyebab rumah sakit swasta menutup pelayanan UGD tersebut dikarenakan pasien yang berada di UGD tidak dapat dipindahkan ke bangsal.

Jika yang datang merupakan pasien covid-19 tanpa gejala menurutnya sangat dimungkinkan pasien tersebut untuk menjalani rawat jalan, namun jika yang datang dengan kondisi klinis yang cukup berat maka rumah sakit sulit untuk menolak.

"Akhirnya pasien tersebut terpaksa masuk UGD. Dan persoalan lainnya, ketika harus dipindah ke bangsal kebanyakan rumah sakit swasta banyak yang belum memenuhi kualifikasi. Misalnya dari segi nakes maupu fasiltas penunjang lainnya, akhirnya tertahan," ungkap Bima.

Baca juga: Dinas Kesehatan DI Yogyakarta Angkat Bicara Soal Antrean Pelayanan Kasus Covid-19 di IGD Rumah Sakit

Ia juga menjelaskan bahwa 2/3 hingga 4/5 pasien yang masuk ke bangsal merupakan datang dari UGD.

Itu artinya apabila UGD tutup dalam dua atau tiga hari, secara otomatis pelayanan di bangsal akan terhenti.

"Tapi bukan itu yang kami pikirkan. Persoalannya jika UGD tutup, pasien umum juga ikut terdampak. Mereka tidak akan mendapat golden time saat penanganan darurat," jelasnya.

Dampaknya, akan terjadi peningkatan kecacatan, hingga kematian dari pasien umum.

"Jelas itu akan terjadi, karena misalnya pasien kecelakaan butuh penanganan tapi UGD tutup kan akhirnya tidak mendapat pelayanan," urainya.

Dari sejumlah persoalan tersebut, Bima meminta kepada pemerintah di antaranya klaim pembayaran perawatan bisa mudah terjamin, penyumbangan APD, dan bentuk kemudahan lainnya.

"Tetapi yang lebih kami inginkan pemerintah harus ada kontrol yang ketat terkait penerpaan protokol kesehatan. Supaya masyarakat tetap sehat," pungkasnya.

Tanggapan BPJS Kesehatan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) cabang Yogyakarta turut menanggapi persoalan klaim biaya perawatan pasien covid-19 yang terhambat di rumah sakit swasta DIY.

Kepala Cabang BPJS Yogyakarta Dwi Hesti Yuniarti menjelaskan, pihaknya hanya selaku virikator dalam upaya pencairan klaim biaya perawatan pasien covid-19.

"Kami hanya memverifikasi saja, untuk anggarannya ada di Kemenkes," jelasnya, saat dihubungi Tribunjogja.com, Jumat (29/1/2021).

Dwi melanjutkan, pihaknya tidak dapat mengupayakan apa pun terkait hambatan yang kini dialami oleh sebagian besar rumah sakit swasta di DIY dalam proses klaim biaya perawatan COVID-19.

Dirinya juga tidak memiliki kewenangan atas belum cairnya klaim biaya perawatan pasien covid-19 meski secara administrasi sudah terverifikasi oleh BPJS.

"Yang bisa jawab itu harusnya Kemenkes, karena soal biaya mereka yang menentukan," tegas Dwi.

Ditanya adanya dispute claim sebesar 27,5 persen yang dialami rumah sakit swasta dalam hal pencairan biaya perawatan pasien covid-19, Dwi beranggapan bahwa kemungkinan besar rumah sakit tersebut kurang melengkapi dokumen pencairan.

"Ya mungkin salah satu syarat administrasinya ada yang terlewat. Itu pun yang menentukan dari Kemenkes. Dan kami hanya sebagai verifikasi saja. Begitu berkas masuk, lalu terverifikasi selanjutnya jadi kewenangan Kemenkes," pungkasnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved