Yogyakarta
Sebanyak 6 Warga Banguntapan Terpapar COVID-19 untuk Kedua Kalinya, 1 di Antaranya Dokter
Kapanewon Banguntapan menduduki kasus COVID-19 tertinggi untuk tingkat kecamatan di Kabupaten Bantul.
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Panewu Banguntapan, Fauzan Muarifin mengatakan, pada Minggu (24/1/2021) Kapanewon Banguntapan menduduki kasus COVID-19 tertinggi untuk tingkat kecamatan di Kabupaten Bantul.
Dari ratusan warga yang terpapar virus corona, ia mengungkapkan, 6 orang di antaranya terkena untuk kedua kalinya.
Satu di antaranya berprofesi sebagai dokter.
"Hari ini kasus di Banguntapan merupakan yang tertinggi di Kabupaten Bantul untuk tingkat kecamatan. Pengalaman yang kami hadapi cukup banyak dan cukup mengharu-biru dari tingkat Satgas Kapanewon sampai level bawah," ujarnya dalam webinar Sonjo Angkringan #41: Gotong Royong Isoman Berbasis Komunitas di kanal YouTube Sonjo Jogja, Minggu (24/1/2021) malam.
Baca juga: Dokter Spesialis RS Jogja Jelaskan Hal-Hal yang Diperlukan untuk Isolasi Mandiri COVID-19
"Ada beberapa data yang kami harus perhatikan betul. Di antara sekian ratus kasus positif di Banguntapan itu, 6 orang di antaranya terpapar untuk kedua kalinya, salah satunya seorang dokter," sambungnya.
Menurutnya, hal itu menjadi satu bahasan yang cukup menggelitik dan menjadi perhatian Satgas COVID-19 Banguntapan, Bantul.
Ia melanjutkan, dinamika di masyarakat masih ditemui terkait COVID-19.
Misalnya, masih ada ketidakjujuran yang dilakukan oleh pasien terkonfirmasi positif, baik bersifat individu maupun kelembagaan.
"Ada beberapa pasien yang tahu-tahu meminta surat keterangan ke Puskesmas bahwa sudah selesai isolasi mandiri. Ini membuat dokter di Puskesmas 1, 2, dan 3 di Banguntapan, Bantul cukup kerepotan. Padahal yang bersangkutan tidak pernah lapor kalau terpapar," bebernya.
Menurut Fauzan, hal itu kemungkinan terjadi karena masyarakat malu atau tidak ingin diketahui bahwa ia terkena COVID-19, sehingga tidak melakukan lapor diri kepada Satgas setempat setelah terkonfirmasi positif.
"Akhirnya dokter Puskesmas tidak mau memberi surat keterangan selesai isolasi mandiri, tetapi hanya surat keterangan sehat," imbuhnya.
Baca juga: Vaksinasi COVID-19, Pemkab Bantul Tunggu Informasi dari Pemda DI Yogyakarta
"Juga tempo hari ada sebuah pabrik di Banguntapan yang tahu-tahu 35 orang terpapar. Ini harus kami edukasi terus dari Satgas maupun Disperindag Kabupaten Bantul," lanjutnya.
Ia mengakui, masih ada kesan di antara warga bahwa penyakit COVID-19 merupakan sebuah aib, sehingga beberapa pihak menyembunyikan informasi ketika sakit.
"Akhirnya ia sendiri kurang mendapat respons (bantuan) dari warga," katanya.
Fauzan menambahkan, terkait shelter isolasi mandiri, bagi pasien positif berstatus orang tanpa gejala (OTG) dan gejala ringan makan dimaksimalkan untuk isolasi mandiri di rumah.
Jika di rumah tidak ada ruang yang memungkinkan untuk isolasi mandiri, maka baru bergeser ke shelter kelurahan.
"Di Banguntapan sudah ada beberapa desa yang menyediakan shelter di kelurahan masing-masing. Kami juga menyiapkan sister village, jika ada shelter desa yang penuh bisa ditampung di desa dekatnya," bebernya.
Dalam kesempatan yang sama, Sosiolog dari Fisipol UGM, AB Widyanta mengungkapkan,
terkadang kemandirian masyarakat selalu muncul tanpa ada komando.
Baca juga: UPDATE Covid-19 DI Yogyakarta: STABIL TINGGI, Tambahan 473 Kasus Baru Dilaporkan Hari Ini
"Dimulai dari inisiatif atas keutamaan hidup dan kebaikan yang muncul. Seperti yang terjadi saat gempa Jogja 2006 dan erupsi Merapi 2010 ada begitu banyak masyarakat yang melakukan sistem pengungsian secara mandiri," tambahnya.
"Ini sebuah kebaikan milik universal yang muncul dalam situasi krisis dengan model partisipasi yang muncul. Di masa COVID-19 ini juga kita temukan, ini adalah semacam jaring pengaman sosial kultural yang dasar," sambung Widyanta.
Di sisi lain, lanjutnya, masyarakat juga memiliki limitasi.
"Kita perlu menimbang bersama seluruh limitasi itu dan dihadirkan problematikanya. Dari situ kita bisa menakar kalau pun ada intervensi, intervensi seperti apa yang lebih tepat," katanya.
"Agar ini dapat memperagakan safety net yang otentik orisinal dari lokal, tetapi mendapat supporting system dari pemerintah. Tentu harapannya tidak kemudian menegasi, tapi memang harus memperkuat," pungkas Widyanta. ( Tribunjogja.com )