Kisah Perjuangan Fitri, Guru SD di Yogyakarta yang Fasilitasi Pembelajaran Selama Pandemi

Dengan mengenakan baju bebas dan tas di pundak, beberapa anak datang satu per satu ke Perpustakaan Alternatif Wilayah Selatan Kota Yogyakarta

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA/ Maruti Asmaul Husna
Guru SD Muhammadiyah Danunegaran, Fitri Afrika Sari, ditemui seusai mengajar di ruang Rebecca Pevita. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dengan mengenakan baju bebas dan tas di pundak, beberapa anak datang satu per satu ke Perpustakaan Alternatif Wilayah Selatan Kota Yogyakarta (Pevita) pagi itu. 

Setelah meletakkan tas di loker, anak-anak itu memasuki ruang Rebecca yang terletak di pojok barat Pevita.

Sang guru, Fitri Afrika Sari, telah menunggu sejak pukul 09.00 WIB. 

Fitri adalah wali kelas 5 SD Muhammadiyah Danunegaran yang memiliki inisiatif untuk menggabungkan sistem pembelajaran daring dan pembelajaran tatap muka kepada murid-muridnya. 

Wanita paruh baya itu sudah menggelar pembelajaran tatap muka secara terbatas sejak November 2020 di Pevita.

Kegiatan itu dilakukan atas inisiatifnya sendiri. 

Baca juga: Selama PSTKM, Balai PRSW DInsos DIY Tiadakan Kegiatan Luar Ruang

Alasannya, 8 dari 18 murid Fitri terkendala dalam pembelajaran secara daring.

Selain itu, ia telah membaca Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta yang membolehkan kegiatan belajar dilakukan di lingkungan masyarakat jika terjadi kendala pembelajaran daring. 

"Saya baca di Perwal bahwa pendidik boleh belajar di lingkungan masyarakat andai ada kendala online. Jadi saya memanfaatkan itu," ujarnya saat ditemui Tribun Jogja. 

Sebelumnya, ia melihat kendala yang dialami 8 dari total 18 muridnya untuk melakukan pembelajaran daring. 

"Ada 8 anak yang kendalanya macam-macam. Mereka ini kadang ikut pelajaran kadang enggak, kebanyakan enggak ikutnya. Alasannya HP cuma satu, dibawa orang tuanya bekerja, ada juga orang tua yang mengeluh tidak bisa mendampingi dan tidak bisa menjelaskan seperti halnya seorang guru," tutur Fitri. 

Sebab itu, Fitri teringat di daerah Danunegaran terdapat Pevita.

Ia pun terlebih dahulu meminta izin kepada kepala sekolahnya.

Kemudian, membuat surat permohonan izin kepada Pevita dengan tembusan kepala sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan belajar di salah satu ruangannya.

"Akhirnya saya mengajukan ke Pevita dan dengan senang hati Pevita mengizinkan belajar di sini. Di sini fasilitasnya (banyak) yang di sekolah saja mungkin tidak seperti ini. Di sini juga disemprot disinfektan 2 kali sehari jadi saya merasa aman, ruang tersendiri, WiFi juga boleh digunakan," paparnya. 

"Saya mulai mengajar di sini sejak November 2020, tetapi tidak terus-terusan. Sempat berhenti karena menyesuaikan kebijakan pemerintah juga," sambungnya. 

Menurut Fitri, semua muridnya memang bertempat tinggal di sekitar Pevita.

Awalnya, pembelajaran tatap muka hanya diperuntukkan bagi 8 siswa yang terkendala belajar daring, namun ternyata antusiasme dari siswa dan orang tua yang lain sangat tinggi.

Sehingga, 18 siswa Fitri bergabung dalam pembelajaran di Pevita. 

Namun, jumlah tersebut ia bagi menjadi dua sif.

Yakni, kelompok pertama 9 anak selama pukul 09.00-10.30 WIB dan 9 anak lainnya 10.45-12.15 WIB.

"Karena ada fasilitas dari Pevita akhirnya semua mau ikut, orang tua akhirnya mengizinkan semua. Saya sampaikan kepada mereka, apa pun keputusannya itu kita bersama," imbuhnya. 

Adapun selama berlaku kebijakan pembatasan secara terbatas kegiatan masyarakat (PSTKM), Fitri menyampaikan kepada orang tua silahkan memilih untuk tetap belajar tatap muka atau hanya daring. 

"Selama PSTKM saya takut juga, akhirnya saya kembalikan ke orang tua, siapa yang mau online silakan, yang di Pevita juga saya layani. Akhirnya ada 7 anak yang masih ingin belajar di Pevita," ungkapnya. 

"Yang belajar di rumah pukul 07.30-09.00 saya layani dengan online. Pukul 09.00-10.30 yang offline," sambungnya. 

Di luar itu, Fitri setiap hari masih harus bolak-balik ke sekolahnya.

Ia melakukan presensi di sekolah pada pagi harinya, mulai ke Pevita pukul 08.45 WIB hingga sesi belajar berakhir, dan kembali ke sekolah hingga pukul 14.00 WIB. 

Baca juga: UPDATE Covid-19 13 Januari 2021: Rekor Baru Penambahan 11.278 Kasus Baru, Total Kumulatif 858.043

Meskipun terdapat fasilitas belajar tatap muka 1,5 jam sehari, siswanya tetap diberikan penugasan di rumah.

Sebab, jam belajar dalam sehari seharusnya 5-6 jam. 

"Jadi setelah itu tetap ada lanjutan tugas di rumah, seperti percobaan-percobaan, tapi saya jelaskan dulu di sini. Kendalanya orang tua kan saat menjelaskan dan pendampingan. Kemudian, anak-anak melaporkan hasilnya di WhatsApp," ungkapnya. 

Siswa lebih disiplin mengerjakan tugas

Dengan tatap muka, Fitri merasa lebih nyaman dalam mengajar.

"Sebagai guru ada kepuasan tersendiri, tersalurkan. Kalau fasilitas internet di sekolah sebenarnya tidak terkendala. Tapi nurani guru itu tidak puas. Tiap hari berangkat, di kelas sendiri, Google Meet, rasanya kurang. Kami jelaskan pakai Power Point, tapi ada anak yang main kamera, ada suara orang tua yang ngobrol," bebernya.

Selain itu, menurutnya, pembelajaran tatap muka terbatas bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi juga menjaga pendidikan karakter siswa.

Yang mana hal itu tidak bisa dicapai lewat pembelajaran daring. 

"Pemerintah katanya mencanangkan pendidikan karakter, andai online tidak bisa terbentuk. Lalu tanggung jawabnya (siswa) beda. Kalau tatap muka begini tugas itu mereka kerjakan semua. Salat misalnya, mereka lihat catatan saya tiap hari. Oh berarti saya itu dicatat. Kalau online hanya jawab ya ya ya, padahal tidak dikerjakan," tandasnya. (uti) 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved