Perselisihan Hasil Pemilihan Pilkada 2020
Reformasi di akhir tahun 90-an yang kemudian diikuti dengan perubahan UUD 1945 berdampak pada berubahnya sistem pemilihan umum.
Oleh: Anggota Bawaslu DIY, Agus Muhamad Yasin
TRIBUNJOGJA.COM - Pemilihan Kepala Daerah merupakan sebuah sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan.
Pemilu-lah yang pada akhirnya berfungsi sebagai sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa, karena melalui pemilu gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah dapat diasosiasikan.
Reformasi di akhir tahun 90-an yang kemudian diikuti dengan perubahan UUD 1945 berdampak pada berubahnya sistem pemilihan umum.
Pasca perubahan UUD 1945, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan pelaksana kekuasaan eksekutif dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Berdasarkan perubahan tersebut setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih perwakilannya di lembaga perwakilan seperti DPR, DPD serta DPRD dan memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden (Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945).
UUD 1945 tidak mengatur apakah kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menegaskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.
Rumusan “dipilih secara demokratis”, lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tahun 2000 antara pendapat yang menghendaki kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara langsung oleh rakyat. (http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/03/15/tinjauan-konstitusi-pemilihan-kepala-daerah/)
Perselisihan Hasil Pemilihan
Saat ini, tahapan rekapitulasi hasil penghitungan suara pada Pemilihan serentak 2020 di Kabupaten Sleman, Gunungkidul dan Bantul telah usai.
Dengan kata lain, saat ini adalah masa tunggu bagi penyelenggara Pemilu untuk mempersiapkan diri apakah hasil rekapitulasi telah diterima oleh semua peserta Pemilihan atau akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Perselisihan Hasil Pemilihan diatur dalam pasal 156 ayat (1) UU 10/2016, merupakan perselisihan antara KPU/KIP Provinsi dan/ atau KPU/KIP Kabupaten/ Kota dan peserta pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan.
Sedangkan obyek Perselisihan Hasil Pemilihan dalam Pasal 156 ayat (2) UU 10/2016 & Pasal 2 PMK 6/2020), adalah Keputusan Termohon mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang signifikan dan dapat memengaruhi calon terpilih. Adapun para pihak dalam perselisihan hasil pemilihan meliputi : Pemohon; Termohon; Pihak Terkait; dan Pemberi Keterangan (Bawaslu).
Dalam pasal 158 ayat (2) UU 10/2016, disebutkan bahwa Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:
(a) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;