Kisah Inspiratif

Kisah Warga Merapi Setelah Relokasi, Beradaptasi dengan Hidup Baru

Relokasi sempat menjadi pilihan yang penuh perdebatan, banyak pula pengorbanan yang harus dilakukan warga.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Tangkapan layar acara Jagongan Virtual Warga Merapi melalui kanal YouTube Dasawarsa Merapi, Jumat (30/10/2020).
Jagongan Virtual Warga Merapi dalam peringatan Dasawarsa Merapi. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Erupsi Gunung Merapi 2010 mengakibatkan relokasi warga besar-besaran.

Sebanyak 3.612 kepala keluarga (KK) dari 9 dusun yang semula tinggal di kawasan rawan bencana (KRB) III Gunung Merapi harus berpindah tempat tinggal secara permanen.

Mereka direlokasi ke lingkungan yang lebih aman dari ancaman bahaya Gunung Merapi yang merupakan gunung api paling aktif di dunia itu.

Relokasi sempat menjadi pilihan yang penuh perdebatan, banyak pula pengorbanan yang harus dilakukan warga.

Yami, dahulu adalah seorang petani sapi perah di dusun lamanya.

Baca juga: 9 Tahun Menghuni Huntap, Warga Lereng Gunung Merapi Masih Mengalami Masalah Administrasi

Setelah relokasi ke hunian tetap (huntap) di Pagerjurang, Dusun Giriharjo, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan pekerjaan lama itu harus ia tinggalkan.

“Sekarang ternak masih ada, tapi saya titipkan di rumah mertua. Sekarang sudah tidak (menjadi petani sapi perah) karena aktivitas saya tidak memungkinkan untuk bolak-balik turun,” ujarnya dalam Jagongan Virtual Warga Merapi melalui kanal YouTube Dasawarsa Merapi, Jumat (30/10/2020).

Yami mengatakan, awalnya sempat merasa takut untuk pindah ke huntap karena bingung apa yang bisa ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Di dusun lama, ia dan tetangganya cukup mengambil daun dan sayuran di kebun untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Namun, saat ini harus membeli.

“Kalau dulu mau nyayur gori tinggal petik, di kebun ada. Kalau sekarang harus beli ke penjual yang tiap hari banyak keliling di huntap kami,” ungkapnya.

Perubahan lain yang sangat terasa olehnya adalah permasalahan sosial.

Dahulu, gotong-royong antar warga sangat kental.

Baca juga: Peringatan 10 Tahun Erupsi Besar Merapi, BPPTKG Selenggarakan Kegiatan Mitigasi di Masa Pandemi

Warga yang satu sangat mudah meminta bantuan kepada warga lainnya.

Bahkan, untuk membangun satu rumah hingga jadi.

Namun, saat ini di huntap warga menjadi lebih sibuk memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan dan biaya hidup yang dituntut meningkat.

“Kalau masalah sosial, menurut saya pribadi, tetangga kami lebih sibuk memikirkan bagaimana dirinya bisa berjalan. Kalau dulu mungkin bersama-sama, kalau butuh teman ada. Tapi saya tidak bilang egois, hanya kami memang beda dari yang dulu,” bebernya.

Ibu yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi itu mengungkapkan, saat ini lebih senang tinggal di huntap.

Sebab, secara akses lebih mudah untuk ke berbagai tempat.

“Saya lebih senang di huntap. Secara akses ke mana-mana saya lebih enjoy di sini. Untuk warga yang mau direlokasi, jangan takut tinggal di huntap karena tidak serumit yang kita bayangkan,” ucapnya.

Warga huntap lainnya, Remon, awalnya sempat menolak pindah ke huntap.

Menurutnya, perbedaan tinggal di huntap tidak terlalu signifikan karena hanya berjarak 9 km dari puncak Gunung Merapi dan berdekatan dengan Kali Opak yang berhulu di Merapi.

Selain itu, ketika itu ada isu bahwa tanah yang dulu mereka tempati akan dijadikan hutan lindung.

Baca juga: Masih Ada 523 KK Warga Lereng Gunung Merapi yang Tinggal di Zona Merah

“Setelah mediasi yang kami lakukan ternyata dijadikan hutan rakyat, sehingga tanah itu masih menjadi hak milik warga. Akhirnya ya mau tak mau kami memilih huntap,” tuturnya.

Saat ini, ia dan sebagian warga lain masih harus naik turun setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Remon dan warga lainnya masih menjalani pekerjaan lama sebagai petani atau peternak yang harus mencari rumput ke dekat puncak Merapi.

Jarak dusun lama dan huntapnya adalah 6 km.

“Kalau dulu tidak perlu keluar uang tiap hari, sekarang harus ada uang minimal Rp10 ribu untuk satu liter bensin membawa rumput ke huntap. Ternak tetap harus di kandang komunal (di dekat huntap), dijauhkan dari ancaman,” jelasnya.

Secara ekonomi, akhirnya warga harus bekerja dan menghasilkan uang lebih banyak.

Dari sisi kehidupan sosial pun ada perubahan.

Contoh konkritnya, saat ini jika ada genteng bocor untuk menyuruh orang membetulkan harus ada biaya.

“Kalau dulu minta tolong langsung ada yang berangkat,” imbuhnya.

“Kalau sampai egoisme, individual belum sampai separah itu. Hanya masing-masing punya tuntutan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri,” sambung Remon.

Baca juga: Refleksi 10 Tahun Merapi, Upaya Membumikan Mitigasi dan Sadar Bencana

Tidak Terpikir Pindah ke Dusun Lama

Kendati demikian, menurut Remon, tidak terpikir olehnya untuk kembali menghuni rumah lama.

Satu di antara penyebabnya, belakangan ini Gunung Merapi menunjukkan arah ancaman ke dusun lamanya.

“Untuk kembali ke rumah lama tidak ada keinginan karena ancaman Merapi akhir-akhir ini masih ke arah kami, di huntap ini masih agak takut-takut juga,” tambahnya.  

Tantangan kehidupan sosial lain dirasakan oleh Anwar Sidqi.

Warga huntap Dongkelsari ini merasakan perlunya membangun ikatan emosional baru dengan tetangga dusun saat ini.

“Kami dengan tetangga di dusun lama itu ikatan emosionalnya sudah terbangun sejak kecil. Tapi sejak pindah di huntap kami bersinggungan dengan masyarakat lain yang harus membangun ikatan emosional sejak awal. Secara status dan administrasi kependudukan kami juga masih di dusun lama,” terangnya.

Sementara, warga Dongkelsari lainnya, Windarti bahkan harus beralih profesi secara total setelah relokasi.

Sebelumnya, Windarti bekerja sebagai buruh tani. Setelah relokasi ia beralih berjualan dan membuka catering.

Setelah sekitar sembilan tahun menjalani aktivitas yang baru, Windarti pun telah merasakan nilai lebih dari pekerjaan barunya.

“Sebelum relokasi saya buruh tani. Di sini sekarang saya jualan dan buka catering. Sekarang jadi lebih rutin penghasilannya dari jualan, kalau dulu kan musiman,” ungkapnya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved