Yogyakarta

Nasib Penetapan Upah Minimum Daerah Istimewa Yogyakarta

Ada kemungkinan besar penetapan yang seharusnya jatuh pada 1 November tertahan lantaran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Iwan Al Khasni
Tribunjogja.com | Hasan Sakri
Pesepeda mengenakan masker untuk di masa pandemi virus Covid-19 melintas di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, Kamis (9/7/2020) 

TRIBUNJOGJA.COM, Yogyakarta --- Penetapan upah untuk 2021 masih belum menemui hasil. Ada kemungkinan besar penetapan yang seharusnya jatuh pada 1 November tertahan lantaran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan dianggap tidak relevan untuk diterapkan di saat pandemi.

Meski Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) 18 Tahun 2020 tentang survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) telah diterbitkan, namun oleh sejumlah pihak dianggap kurang maksimal dalam menyusun formula pengupahan di Tahun 2021.

PERUBAHAN ISTILAH. Warga beraktifitas di sekitar seni instalasi berbentuk bola bumi dengan tulisan siap new normal yang dipajang di depan museum Sono Budoyo, jalan Pangurakan, Kota Yogyakarta, Minggu (19/7/2020). 

Pemerintah mengubag penggunaan diksi New Normal dengan adaptasi kebiasaan baru karena penggunaan diksi new normal dianggap salah sebab sebagian masyarakat tidak memahami secara penuh diksi new normal sehingga dikawatirkan masyarakat tidak lagi menerapkan protokol kesehatan yang berakibat terjadinya Peningkatan penyebaran virus covid-19.
PERUBAHAN ISTILAH. Warga beraktifitas di sekitar seni instalasi berbentuk bola bumi dengan tulisan siap new normal yang dipajang di depan museum Sono Budoyo, jalan Pangurakan, Kota Yogyakarta, Minggu (19/7/2020). (Tribunjogja.com | Hasan Sakri)

Akibatnya pemerintah daerah dan perwakilan serikat pekerja tidak dapat mengkritisi maupun merumuskan KHL di tingkat daerah.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Aria Nugrahadi menegaskan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan, terdapat formulasi pengupahan secara nasional, sehingga saat ini pemerintah daerah belum bisa melakukan aktivitas apa pun untuk merumuskan upah di tahun depan.

Sehingga ketika pemerintah DIY melakukan survey KHL untuk merumuskan formula upah di tahun depan, hal itu tidak dapat mewakili atau dijadikan acuan.

"Karena juknisnya yang kami tunggu belum keluar. Sehingga kami melakukan survei pun, itu belum mewakili, dan tidak dijadikan acuan tetapi hanya bisa dijadikan sandingan," Katanya, seusai berdiskusi dengan perwakilan buruh di gedung DPRD DIY, Senin (26/10/2020).

Alasan lain, adanya pandemi Covid-19 kali ini dewan pengupahan DIY tidak melakukan survey KHL karena seluruh kegiatan telah direfocusing penanganan Covid-19.

Lebih lanjut, Aria mengatakan, dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini sangat tidak layak untuk dijadikan acuan KHL.

"Karena sifatnya masih fluktuatif, oleh karena itu kami masih menunggu itu soalnya. Yang dipusat menetapkan seperti apa," urainya.

Ia menegaskan, PP 78 Tahun 2015 disusun dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang normal, sehingga hal itu tidak relevan untuk diterapkan dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini.

Namun demikian, Aria mengatakan sampai detik ini pihaknya masih mengacu PP 78 Tahun 2015 tersebut sampai dengan muncul aturan terbaru dari pemerintah pusat.

Termasuk tenggang waktu pengumuman penetapan upah tahun depan, sesuai acuan PP 78 Tahun 2015, seharusnya November nanti sudah diketahui angka penetapan upah tersebut.

Akan tetapi, sejauh ini pemerintah DIY maupun dewan pengupahan masih belum melakukan survey KHL. Sehingga dimungkinkan penetapan upah 2021 itu pun mundur dari waktu yang ditentukan.

"Kalau mengacu PP 78 itu ya November sudah ditetapkan. Tapi itu kan terkait dalam kondisi yang normal. Terkait apakah akan mundur, kami menunggu Juknisnya nanti," tegas Aria.

Pihaknya masih menunggu hasil keputusan pemerintah pusat sampai dengan akhir Oktober.

Aria berharap, Juknis yang sampai saat ini belum diterima tersebut diharapkan mampu menjawab terkait arah kebijakan penetapan upah.

"Lalu awal November kami bisa rapatkan dengan dewan pengupahan daerah," ujarnya.

Peremenaker 18 Tahun 2020 Persulit Survey KHL di Daerah

Secara tegas Aria mengaku kesulitan pasca dikeluarkannya Permenaker 18 Tahun 2020 Tentang Survey KHL yang dimaksudkan dapat dijadikan base line untuk melakukan survey KHL di daerah.

Karena untuk saat ini, pihaknya harus menlakukan penyesuaian penetapan upah dalam tahun pertama siklus lima tahunan.

"Ini yang menjadikan kami di daerah terus terang sulit dengan terbitnya permenaker 18 ini untuk dijadikan base line siklus lima tahunan," tegasnya.

Alasannya, pertama permenaker tersebut menurut Aria tidak cukup ideal untuk dijadikan darar melakukan survei KHL untuk kondisi saat ini.

Yang kedua, semestinya perhitungan tersebut dilakukan secara jumlah sampling perbulannya memenuhi satu tahun penuh.

"Ketika itu terbit di bulan September, tentu saja itu hanya mewakili pengambilan sampel di akhir tahun saja," sambung Aria.

Meski begitu, pihaknya telah merapatkan dengan tim dewan pengupahan sekitar sepuluh hari yang lalu.

Dari rapat tersebut muncul keputusan berupa penentuan rencana alternatif. Yakni apabila sampai 31 Oktober nanti Juknis dari pemerintah pusat tak kunjung turun, maka dewan pengupahan DIY akan tetap membahas penetapan upah di awal November 2020.

Saat ini dirinya mendesak agar pemerintah pusat segera mengeluarkan juknis khusus dari PP 78 Tahun 2015 tersebut agar arah perumusan upah tersebut semakin jelas.

"Harapannya ada lah juknis khusus untuk 2020 kali ini dari PP 78. Kalau sampai 31 Oktober tidak turun, kami akan tetap bahas di awal November. Karena kami berharap penetapan 2020 kali ini secara operasional berkelanjutan di tahun 2021," tegas Aria.

Ia menegaskan, sejauh ini amanat dari PP 78 tersebut masih belum muncul. Sementara rumusan dari PP tersebut hanya sebagai konsep sandingan.

Padahal kondisi ekonomi di beberapa wilayah sangat bervariasi. Sementara pemerintah DIY hanya dapat melakukan survey selama tiga bulan mulai dari Januari, Februari dan Maret.

"Itu karena PP ini hanya sebagai sandingan saja. Dan sampai saat ini belum dirsepon ada perubahan atau tidak," tutup Aria. (hda)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved