10 Tahun Erupsi Gunung Merapi

Sisi Lain Pengamat Gunung Merapi, Jawara Kebut Gunung, Naik Turun Ditempuh 1 Jam 22 Menit

Kebut Gunung itu lomba adu kecepatan mendaki Merapi dan Merbabu. Peserta akan membawa beban pasir seberat 15 kilogram

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Iwan Al Khasni
IST
Pendakian Pertama Tim BPPTK Setelah Erupsi 2010 

Alzwar Nurmanaji nama lengkapnya. Ia dilahirkan di Desa Banyubiru, Kecamatan Dukun, Magelang, 13 September 1986. Wawa, panggilan akrabnya, terhitung pengamat gunung Merapi yang termuda usianya di 5 pos yang ada.

Peristiwa 2 Februari 1992 itu tak pernah terbayangkan akan kembali dihadapinya. Kali ini jauh lebih dahsyat, membuatnya gemetaran, dan akan diingatnya sepanjang hidup sebagai momen paling menggiriskan; letusan eksplosif Merapi 2010.

Saat itu, ia berdua bersama petugas lain, Pak Singat, di PGM Selo. Gempa terjadi berulang sangat kuat.

“Saya ndredek (degdegan), lalu mengajak Pak Singat mundur. Tapi beliau bilang, tunggu dulu. Guncangan saat itu sudah menggetarkan bangunan dan kaca pintu serta jendela pos,” kata Wawa.

Grafiti di sudut kampung Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, setelah letusan Merapi Oktober-November 2010
Grafiti di sudut kampung Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, setelah letusan Merapi Oktober-November 2010 (Tribunjogja.com |)

Beberapa saat selepas pukul 17.00, letusan pertama Merapi terjadi. Suara bergemuruh serta bubungan awan piroklastika terlihat dari PGM Selo, mengarah ke balik gunung.

Singkat cerita, semburan “wedhus gembel” petang itu, disusul letusan beruntun hingga malam menyapu Kinahrejo dan Kali Adem.

Mereka bertahan di PGM Selo, sebelum akhirnya mundur ke Dusun Selo, yang berada di punggungan lereng berbeda di kaki Merbabu.

Alzwar dan Pak Singat pindah ke rumah tokoh di dusun itu, sembari berupaya mengamati aktivitas Merapi sebisa mereka.

Alzwar berusaha mencuri waktu istirahat setelah bermalam-malam ia tidak bisa tidur karena kondisi genting di pos.

Hingga kemudian tiba momen dini hari 29 Oktober 2010, saat ledakan besar memuncratkan lava pajar membuat terang benderang puncak Merapi hingga lereng-lerengnya.

“Di Dusun Selo itu perasaan malah seperti sejajar dengan Pasar Bubar. Pemandangannya semakin menggetarkan,” aku Alzwar. Penduduk hanya tinggal segelintir. Sisanya sudah mengungsi ke Boyolali atau Magelang.

Paginya, ia mengajak Pak Singat mundur ke Boyolali. Seniornya setuju, tapi ia harus kembali ke PGM Selo dulu. Alzwar menentang karena situasi yang begitu gawat.

Ia ingat, saat keduanya meninggalkan pos, pintu-pintu belum dikunci. Banyak peralatan penting ada di pos. Ia berusaha meyakinkan Pak Singat, tidak perlu dikhawatirkan. Tidak akan ada orang yang berani mencuri.

Alzwar benar-benar dilahirkan dari Merapi. Ayahnya, Sugijono HS, kini sudah pensiun setelah puluhan tahun bertugas sebagai pengamat Merapi.

Kakeknya, Sastro Jemangi, juga bertugas sebagai pengamat saat vulkanologi masih ditangani pemerintah kolonial Belanda. Kakek buyutnya, juga membantu geolog Belanda.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved