Yogyakarta

10 Tahun Merapi Pascaletusan 2010, BPPTKG Yogyakarta Pantau Migrasi Magma Fase VII

Sebagai refleksi Dasawarsa Merapi kali ini, masyarakat cukup berpegang pada status kebencanaan saat ini.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Gaya Lufityanti
zoom-inlihat foto 10 Tahun Merapi Pascaletusan 2010, BPPTKG Yogyakarta Pantau Migrasi Magma Fase VII
TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI GHOZALI
Kondisi puncak gunung Merapi dilihat dari arah Kalitengah Lor pada bulan April 2011.

Laporan Reporter Tribun Jogja, Miftahul Huda

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Gunung Merapi yang letaknya di antara dua wilayah yakni di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng) merupakan gunung berapi yang masih aktif hingga kini.

Terakhir letusan dahsyat terjadi pada 26 Oktober 2010 silam.

Dengan total korban jiwa mencapai sekitar 337 orang.

Selain itu beberapa tanaman, hewan ternak, dan bangunan milik warga sekitar merapi juga lenyap.

Senin (26/10/2020) besok tepat sepuluh tahun pasca letusan hebat di tahun 2010 lalu.

Tentu warga Yogyakarta, khususnya yang berada di lereng Merapi masih terngiang bagaimana kepanikan masing-masing warga yang mencari selamat pada waktu itu.

Baca juga: Intensitas Kegempaan Gunung Merapi Kembali Meningkat, Laju Deformasi 2 Cm/Hari

Meski sepuluh tahun pasca letusan hebat telah berlalu, namun gunung Merapi tetap saja masih aktif dan terus memproduksi magma dan membentuk kubah lava.

Kepala Seksi Gunung Merapi, Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Agus Budi Santoso menjelaskan, aktivitas merapi saat ini masih seperti kondisi sebelumnya.

Artinya tidak ada perubahan aktivitas magma yang menonjol.

Justru menurut Agus, seperti yang pernah ia sampaikan, karakter perilaku merapi saat ini cenderung sama dengan kondisi pasca letusan saat tahun 1872, yang saat itu mampu mengeluarkan material atau magma Merapi sebanyak 100 juta meter kubik.

"Jadi tidak ada perubahan pasca letusan 2010 kemarin. Justru perilakunya mengarah pada letusan di tahun 1872. Meski saat ini sudah satu dasawarsa pasca letusan 2010 kemarin," katanya, kepada Tribunjogja.com, Minggu (25/10/2020).

Agus melanjutkan, beberapa rangkuman perjalanan Merapi pun ia paparkan di antaranya perjalanan masa sebelum periode Merapi baru, yang dimulai pada penentuan waktu relatif dan periode baru abad ke-19, abad 20 hingga sekarang.

Agus menjelaskan, periode 3000-250 tahun yang lalu tercatat kurang lebih terjadi 33 kali letusan, 7 diantaranya merupakan letusan besar.

Dari data yang tercatat, letusan besar terjadi sekali dalam 150-500 tahun.

Baca juga: Sumbu Filosofis Yogyakarta Hingga Garis Imajiner Merapi dan Laut Kidul

Selanjutnya periode Gunung Merapi baru abad ke-19.

Di masa ini merupakan periode Merapi baru, dengan catatan letusan yaitu pada tahun 1768,1822,1849 dan 1872 yang karakteristiknya menyerupai letusan pada 2010 lalu. 

Erupsi pada abad ini diyakini jauh lebih besar dibandingkan abad ke-20, di mana awan panas mencapai 20 kilometer dari puncak. 

Agus membenarkan jika ada kemungkinan letusan besar terjadi dalam 100 tahan sekali. Dan sejak tahun 1768-1872, tercatat lebih dari 80 kali letusan.

"Karena terjadinya ekstrusi besar butuh peruangan yang lama. Itu mengapa untuk skenario untuk erupsi ini disebut eksplosif," terangnya.

Masih kata Agus, di periode abad ke-20, aktivitas merapi terjadi minimal 28 kali letusan, di mana letusan terbesar terjadi pada 1931. 

Di tahun 1930-1931 tersebut, arah letusan dominan ke arah barat daya. Letusan pada tahun itu cukup besar dan memunculkan kepulan asap dan debu yang menyembur dari puncak Merapi.

Setelah itu, tahun 1994 Merapi meletus dengan meruntuhkan kubah lava pada volume 2,6 juta meter kubik. 

Peristiwa itu memunculkan awan panas sejauh 6,5 kilometer ke arah barat laut dan selatan, serta mengakibatkan sebanyak 64 orang meninggal dan puluhan luka-luka. 

"Setelah itu tahun 1998 dan tahun 2006 namun tidak begitu luas dampaknya," sambung Agus.

Barulah pada September 2010, status Merapi menjadi waspada, dan 26 Oktober 2010 terjadi letusan pertama yang bersifat eksplosif yang disertai dengan awan panas dan dentuman keras.

Baca juga: Potensi Bahaya Gunung Merapi, Runtuhnya Kubah Lava hingga Lontaran Vulkanik Letusan Eksplosif

Letusan saat itu menjadi letusan terbesar selama 100 tahun terakhir karena mengakibatkan korban sebanyak 337 orang meninggal dunia, serta puluhan desa juga porak poranda, dan ratusan ribu orang diungsikan.

"Dan ini menjadi bahan refleksi karena sudah masuk dasawarsa. Kami sampaikan saat ini aktivitas Merapi masih konsisten seperti di tahun 1872," sambungnya.

Ia melanjutkan, karakteristik magma saat ini masih berupa intrusi fase VII. Yakni aktivitas berupa intrusi magma.

Agus mengatakan ancaman bahaya berdasarkan kondisi Morfologi saat ini bahwa bukaan Magma masih mengarah ke Tenggara.

Karena menurutnya sejak erupsi terakhir pada 2006, terjadi perubahan arah dari barat daya ke arah tenggara, dengan membentuk bukaan kawah yang mengarah ke Kali Gendol.

"Sekarang masih tahapan intrusi magma. Kami masih menunggu magma itu keluar. Kalau ancaman bahaya berdasarkan kondisi morfologi terpantau saat ini bukaan kawah masih mengarah ke Tenggara. Ya hampir sama dengan 1872 dan 2010," urainya.

Lebih lanjut dirinya menjelaskan, sejauh ini belum ada indikasi mengarah kepada erupsi yang besar.

Baca juga: Skenario Bahaya Jika Terjadi Bencana Merapi

Namun demikian, Agus mengklaim untuk aktivitas Merapi saat ini cukup tinggi.

Hal itu menunjukkan terdapat proses migrasi magma pada Merapi.

"Belum ada indikasi arah erupsi yang besar. Tapi tapi aktivitas saat ini tinggi. Menunjukkan terjadi migrasi magma. Ini yang kami tunggu," tegas Agus.

Ia menambahkan, untuk saat ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh masyarakat terkait status waspada Merapi saat ini.

Sebagai refleksi Dasawarsa Merapi kali ini, Agus mengatakan jika masyarakat cukup berpegang pada status kebencanaan saat ini.

"Cukup berpegang pada status aktivitas dan tidak usah panik. Diharapkan masyarakat patuhi rekomendasi pemerintah terkait bentuk mitigasi yang sudah direncanakan," pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved