Yogyakarta
12 Poin Buruh DIY Tolak RUU Omnibus Law
MPBI DI Yogyakarta berencana untuk bersolidaritas dan ikut serta dalam aksi mogok nasional menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Penulis: Yosef Leon Pinsker | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DI Yogyakarta berencana untuk bersolidaritas dan ikut serta dalam aksi mogok nasional menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Aksi tersebut akan dilaksanakan pada 8 Oktober nanti dan akan dipusatkan di kantor DPRD DIY serta kantor Kepatihan Yogyakarta.
Buruh disebut akan melakukan longmarch dengan jumlah ribuan guna menggagalkan RUU itu.
"Indonesia dan rakyatnya sedang dalam posisi gawat darurat karena dua hal. Pertama, soal ketidakmampuan pemerintah dalam menangani pandemi COVID–19 dan kedua sikap keras kepala Pemerintah dan DPR RI yang ingin mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja meski ditolak oleh rakyat Indonesia semenjak itu diwacanakan," kata juru bicara MPBI DIY, Irsyad Ade Irawan, saat sosialisasi pernyataan sikap di kawasan Tugu Jogja Senin (5/10/2020).
• MPBI DIY Ajak Masyarakat Jogja Bersolidaritas Tolak RUU Omnibus Law
Dia mengatakan, jauh-jauh hari perwakilan dari sejumlah serikat pekerja telah melakukan berbagai upaya dialog baik kepada pemerintah pusat maupun daerah, berbagai aksi unjuk rasa, maupun pengirim Daftar Investaris Masalah (DIM) RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Hanya saja seluruh upaya itu tidak digubris.
Karenanya Irsyad berpendapat, aksi mogok itu diharapkan mampu menjadi tekanan yang kuat bagi pemerintah untuk menyetop rencana pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Kami memandang ada sejumlah poin di dalam RUU Omnibus Law yang mendiskreditkan buruh dan berpotensi buruk bagi masa depan pekerja dan rakyat banyak," katanya.
Ada 12 poin utama yang dianggap MPBI menjadi hal penting dan sebagai alasan sehingga menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Diantaranya yakni UMK bersyarat dan UMSK dihapus yang berakibat pada upah pekerja yang akan semakin menjadi lebih rendah.
Poin itu juga akan berdampak pada kondisi pekerja yang akan selalu hidup dalam posisi kekurangan dan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup layak.
Hal selanjutnya yakni pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan.
• Omnibus Law Cipta Kerja Hanya Buang-buang Waktu
Di mana 19 bulan akan dibayarkan oleh pengusaha dan 6 bulan lagi dibayar oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Kemudian soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup, sistem outsourcing tanpa batas dan seumur hidup dan jam kerja yang eksploitatif.
Ditambah lagi dengan adanya penghilangan hak cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang, cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang.
Kemudian jaminan pensiun dan kesehatan yang hilang diakibatkan oleh penerapan buruh kontrak dan outsourcing seumur hidup.
RUU Omnibus Law juga disinyalir akan berpotensi memicu terjadinya penurunan jumlah pekerja atau buruh yang berserikat karena takut kontrak tidak diperpanjang karena bergabung dengan Serikat Pekerja/Buruh.
Hal ini juga berdampak pula terhadap psikologis pekerja/buruh yang akan selalu merasa terteror sepanjang tahun berkaitan dengan kepastian kerja dan kepastian pendapatan.
"Yang terakhir RUU Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945," pungkas dia. (TRIBUNJOGJA.COM)