Lika-liku Penjual Gulali di Masa Pandemi, Sepi Pembeli Hingga Tak Bisa Kirim Uang untuk Keluarga
Lika-liku Penjual Gulali di Masa Pandemi, Sepi Pembeli Hingga Tak Bisa Kirim Uang untuk Keluarga
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Wajah pria paruh baya yang duduk di depan Museum Benteng Vredeburg, Kota Yogyakarta saat Minggu (20/9/2020) pagi nampak semangat.
Jemarinya sangat cekatan membentuk pola aneka rupa dari adonan permen gulali yang berbahan dasar gula itu.
Pria asal Kabupaten Garut, Jawa Barat (Jabar) yang satu ini sudah lama berjualan permen gulali.
Di tangan bapak enam anak ini, jajanan yang nyaris punah keberadaannya itu pun tetap terlihat mungil dan menarik perhatian para anak.
Pria itu bernama Mamat. Usianya sekitar 61 tahun.
Mamat biasanya berjualan permen gulali di depan wisata Keraton Yogyakarta.
Namun karena ada Covid-19, Mamat lantas pindah ke Museum Benteng Vredeburg.
"Karena sepi kunjungan wisatawan di sana (Keraton) akhirnya saya pindah ke sini. Di sini ya paling sampai jam sembilan. Soalnya pasti ada penertiban oleh petugas," katanya, saat ditemui Tribunjogja.com.
Ia hampir lupa sudah sejak kapan berjualan permen gulali tersebut.
Seingat dia, waktu pertama kali jualan permen gulali sejak harganya masih Rp10 rupiah.
Konsistensinya terus dipelihara hingga harga permen gulali Rp25 rupiah, dan bertahan sampai saat ini menjadi Rp5000 rupiah.
"Wah sudah lama, sejak harganya masih Rp10 rupiah, terus jadi Rp25 rupiah, terus Rp50 rupiah, dan sekarang ini Rp5000 rupiah. Ya mungkin dari tahun 1985 ya," imbuh Mamat.
• Update Covid-19 di Kulon Progo 19 September 2020, Muncul Klaster Kokap, Ini Riwayat Penularannya
Selama itu pula cita rasa permen gulali buatannya tak pernah berubah.
Ia meyakini bahan yang digunakan cukup aman dikonsumsi anak-anak.
"Lah gimana mau berubah. Saya mah tidak neko-neko. Cuma pakai gula pasir, air, sama pewarna makanan. Jadi aman buat anak-anak," sambungnya.