Update Corona di DIY
Pakar Sebut Mutasi Virus Tidak Berhubungan dengan Penyebab Kematian Pasien Covid-19
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Genetik FK-KMK UGM, dr Gunadi, SpBA, PhD mengungkapkan pasien meninggal karena Covid-19 memang tidak selalu disertai komo
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Di Kabupaten Bantul, telah ditemukan pasien meninggal akibat Covid-19 yang tidak disertai penyakit penyerta atau komorbid tertentu.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul pun mengatakan pasien tersebut meninggal murni karena Covid-19. Untuk itu, masyarakat diimbau untuk selalu menjaga protokol kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Genetik FK-KMK UGM, dr Gunadi, SpBA, PhD mengungkapkan pasien meninggal karena Covid-19 memang tidak selalu disertai komorbid.
“Memang yang dengan komorbid lebih tinggi, tapi yang tanpa komorbid pun bisa,” ujarnya saat dihubungi Tribunjogja.com, Kamis (17/9/2020).
• Sebanyak 4 Kematian Akibat Corona di Bantul Tanpa Komorbid
Ia melanjutkan, terdapat beberapa faktor seseorang lebih berisiko saat terkena Covid-19, di antaranya laki-laki, merokok, berusia di atas 50 tahun, dan adanya komorbid, seperti hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, tumor, kegemukan, kelainan ginjal, kelainan hati, dan sebagainya.
Namun, kata dia, faktor yang berhubungan dengan kematian lebih spesifiknya ditentukan oleh usia di atas 65 tahun, laki-laki, dan memiliki komorbid hipertensi, penyakit jantung, diabet, paru-paru, dan kanker.
“Yang jarang disebutkan juga faktor risiko dari sisi host-nya atau faktor genetik manusianya. Di Eropa ada penelitian yang menyebutkan golongan darah O risikonya lebih rendah untuk menderita Covid-19. Golongan darah O lebih tidak berisiko, lebih protektif,” ungkapnya.
Adapun terkait mutasi virus Covid-19 yang telah ditemukan di DIY dan Jawa Tengah yang memiliki daya infeksi 10 kali lebih tinggi, menurut Gunadi, hal ini tidak berhubungan dengan derajat keparahan pasien.
“Kalau dari penelitian di Inggris tidak terbukti. Mereka meneliti sekitar 999 pasien dengan virus mutasi itu tidak berhubungan dengan derajat parahnya pasien. Jadi ada yang pasien rawat jalan, berat, ringan, sedang. Sama-sama ada mutasi. Penelitian di Amerika juga mendukung yang di Inggris itu bahwa tidak ada hubungan mutasi virus dengan derajat kegawatan pasien,” tuturnya.
• Kepala LBM Eijkman Ungkap Fakta Hasil Penelitian Mutasi Virus Corona D614G, Benarkah Lebih Menular?
Sementara, di Indonesia sendiri belum ada penelitian lebih lanjut terkait hubungan mutasi virus dengan keparahan pasien.
Gunadi menerangkan, penelitian yang dilakukan pihaknya sejauh ini baru sampai tataran penelitian di laboratorium.
“Infeksiusnya lebih tinggi 2,6-9,3 kali atau singkatnya 10 kali dibandingkan virus tanpa mutasi, ini penelitian di laboratorium. Kalau penelitian pada masyarakat itu belum ada, apakah itu berpengaruh pada masyarakat atau tidak,” tandasnya.
“Tapi yang perlu diperhatikan juga, penelitian di Inggris tersebut mengatakan pasien dengan virus yang bermutasi itu jumlah virusnya lebih tinggi dibanding pasien dengan virus tanpa mutasi. Tapi apakah menginfeksi lebih cepat belum tahu juga, tidak diteliti juga di penelitian itu,” sambungnya.
Gunadi menjelaskan, imbauan kepada masyarakat sejauh ini masih sama, yakni tetap melakukan protokol kesehatan 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak saat bersama orang lain. (TRIBUNJOGJA.COM)