Nasional

Menafsirkan Jurnalisme Fakta dan Makna Jakob Oetama

Kepulangan tokoh pers sekaligus pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama masih menyisakan kesedihan dan kenangan bagi akademisi di UGM.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Arsip Kompas Gramedia
Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kepulangan tokoh pers sekaligus pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama pada Rabu (9/9/2020) masih menyisakan kesedihan dan kenangan bagi banyak pihak.

Tak terkecuali kalangan akademisi di UGM.

Dalam pidato penerimaan gelar doktor kehormatan UGM pada 17 April 2003, Jakob Oetama menyampaikan pemikirannya yang berjudul "Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna". 

Dia tidak menegaskan pilihannya kepada Jurnalisme Makna.

Namun, banyak orang menginterpretasikan bahwa Jakob Oetama lebih memilih jurnalisme makna.

“Pikiran Pak Jakob itu merupakan hasil akumulasi penghayatan puluhan tahun sebagai wartawan dan pemimpin umum Kompas. Ia merupakan abstraksi dari pembelajaran yang dilakukannya secara belasan tahun secara terus-menerus. Ia juga merupakan puncak kesadaran eksistensialnya sebagai wartawan dan pengusaha media. Jadi, itulah puncak karyanya di bidang jurnalisme. Kita harus apresiasi dengan penuh suka cita,” papar pengamat sekaligus dosen Ilmu Komunikasi UGM, Dr. Phil. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., Kamis (10/9/2020).

Mengenang Jakob Oetama : Terima Kasih, Pak Jakob. Kami Lanjutkan Perjuanganmu

Abrar menilai jika dilihat lebih jauh genealogis pemikiran Jakob Oetama sebenarnya berasal dari konsep eksistensi pers.

Eksistensi pers ditentukan oleh muatan isi dan jumlah pembaca. 

Jumlah pembaca ini, oleh Jakob Oetama dalam pidato penerimaan doktor kehormatan itu sebagai kemampuan mengelola bisnis.

Sedangkan muatan isi, dia sebut isi.

“Menyangkut isi inilah Pak Jakob bicara 'antara jurnalisme fakta dan makna'? Kenapa dia menyebut antara? Karena jurnalisme yang dia perkenalkan berangkat dari jurnalisme investigasi. Namun, dimodifikasi soal faktanya. Yakni melaporkan tidak hanya sekadar fakta, tapi latar belakang, riwayat, proses dan hubungan kausal dan interaktif,” tambah Abrar.

Menurut Abrar jika ditarik ke masa kini, ide Jakob Oetama ini sulit diterapkan.

Tidak banyak media yang mau repot dan ikhlas melakukan investigasi.

Kecuali itu, ide Jakob Oetama memerlukan Politics of Values yang luhur.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved