Kota Yogyakarta
Fokuskan Calistung, Disdik Kota Yogyakarta Ujicobakan Guru Berkunjung pada 8 SDN
Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Yogyakarta menganggap pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak cukup memenuhi kebutuhan pendidikan siswa, terutama bagi sisw
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Yogyakarta menganggap pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak cukup memenuhi kebutuhan pendidikan siswa, terutama bagi siswa kelas 1 SD.
Oleh karena itu, pihaknya menerapkan pilot project atau uji coba program guru berkunjung kepada 8 SD Negeri (SDN).
Kepala Bidang Pembinaan SD Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Yogyakarta, Rochmat menyebutkan delapan SDN tersebut di antaranya, di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Utara yaitu SDN Terbansari dan SDN Tegalpanggung, UPT Barat yaitu SDN Tegalrejo I dan SDN Petinggen, UPT Selatan yaitu SDN Suryadiningratan I dan SDN Keputran I, serta UPT Timur SDN Warungboto dan SDN Rejowinangun III.
“Syaratnya harus dengan izin orang tua siswa. Setiap tempat belajar kami survey dulu. Anak-anak cuci tangan sebelum masuk, diperiksa thermo gun, setiap anak didata berapa suhunya,” ujar Rochmat saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (3/8/2020).
Ia menjelaskan, alasan program guru berkunjung hanya dilakukan untuk kelas 1 ialah karena kondisi anak yang baru berpindah dari TK. Sementara, pembelajaran di TK saat pandemi kurang maksimal.
“Kelas 1 itu kan dari TK yang kemarin belum selesai, sehingga anak itu masuk ke jenjang yang lebih tinggi kemudian tuntutannya di sana itu lebih tinggi dibanding TK. Sehingga penguasaan materi itu jauh sekali dengan SD. Ini yang membuat kami berinisiatif,” tutur Rochmat.
• SDN Tegalpanggung Selenggarakan ‘Guru Berkunjung,’ Orang Tua Antusias Menyambut
Alasan kedua, lanjut dia, siswa kelas 1 dituntut mulai belajar baca, tulis, dan berhitung (calistung).
“Itu enggak mungkin orang tua mampu memberikan pendidikan dan mengajar anak kelas 1 calistung. Itu berat bagi orang tua. Ini permulaan yang mendasar sekali, kalau itu gagal maka risiko selanjutnya tinggi. Pembelajaran mundur semua,” beber Rochmat.
Dengan demikian, menurut Rochmat, pihaknya menyelenggarakan inisiatif guru berkunjung atau yang diberi nama ‘Guru Ngaruhke’ dengan tetap berkomitmen terhadap keamanan anak, tetapi pembelajaran tetap berjalan.
Mekanismennya, terang dia, guru berkunjung ke kelompok belajar anak-anak. Kelompok belajar ini dibentuk oleh kelompok masyarakat atau orang tua yang ada di suatu wilayah.
Selanjutnya, masyarakat menentukan tempat belajar, semisal di Balai RW, RT, atau tempat-tempat tertentu yang memungkinkan guru datang untuk sekitar 2 jam melakukan pembelajaran tatap muka.
“Dua jam itu sudah efektif, tidak ada semacam metode yang bisa menggantikan tatap muka untuk kelas 1, itu enggak ada sama sekali. Karena ini pembelajaran memulai anak itu mengenal dunia. Karena membaca itu kan jendela ya, kalau ini sudah jadi masalah, nanti ke belakang itu sulit,” beber Rochmat.
Di setiap tempat, semisal Balai RW, menurut Rochmat hanya cukup menampung maksimal 6 anak dengan physical distancing. Setiap kelas berisi 20-an siswa dibagi menjadi 4 kelompok sehingga setiap anak mengalami pembelajaran guru berkunjung satu kali seminggu.
Ditanya terkait anak yang bertempat tinggal agak jauh, Rochmat mengatakan jika dari sisi orang tuanya merelakan untuk mengantarkan, maka anak bisa bergabung. “Kalau yang kami piloting itu biasanya anak-anak di sekitar situ saja tinggalnya,” tandasnya.