Politik Turki

97 Tahun Perjanjian Laussane dan Politik Agresif Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

Presiden Turki Tayyip Erdogan dan pendukungnya berusaha keras mengamandemen perjanjian Laussane yang ditandatangani pada 24 Juli 1923

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
YASIN BULBUL / AFP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Perjanjian Laussane ditandatangani 24 Juli 1923, hari ini 97 tahun lalu.

Perjanjian ini praktis jadi titik awal eksistensi Turki modern di bawah Mustafa Kemal Pasha atau Mustafa Ataturk.

Hari-hari ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan para pendukungnya, berusaha keras mengamandemen perjanjian itu. 

Pembaruan perjanjian itu memicu kemarahan Yunani dan Italia. Erdogan memiliki agenda merebut kembali wilayah-wilayahnya yang kini dikuasai kedua negara itu.  

Sebelum Turki modern resmi eksis, trah Usmaniyah telah bubar lebih dulu, lewat perjanjian Sykes-Picot. Perjanjian ini menengahi kekhalifahan yang sekarat sejak awal abad 19.  

Kekuasaan luas itu dipenuhi masalah dan berbagai kesalahan strategis. Ada keterlambatan reformasi administrasi, inovasi teknologi yang lambat, dan korupsi yang merajalela.

Perang Dunia I telah mengubah Eropa dan Timur Tengah. Kekhalifahan Turki Usmaniyah runtuh, terbagi-bagi dalam kekuasaan-kekuasaan kecil yang dikontrol imperialisme barat.  

Di bagian Eropa, kekuasaan Usmaniyah dikalahkan negara-negara tetangganya di barat.  Kekhalifahan itu akhirnya dijuluki "orang sakit Eropa".

Mengutip ulasan pengamat Timur Tengah, Muhammad Hussein, di Middleeastmonitor.com, Kamis (23/7/2020), berbagai upaya reformasi dilakukan, termasuk oleh Sultan Abdulmecid I lewat reformasi Tanzimat-nya.

Diikuti Sultan Abdul Hamid II dengan upayanya untuk melakukan kontrol langsung atas urusan negara.

Tapi Revolusi Turki Muda sekuler pada 1908 membuat Kekaisaran Ottoman jatuh terlalu dalam. Kerusakan tak bisa dihentikan.

Diperparah masuknya Ottoman ke kancah Perang Dunia I pada 1914. Mereka bahu membahu bersama sekutunya, Jerman.

Posisi itu mempercepat kekalahan militer kekaisaran yang telah berabad-abad eksis di Eropa dan Timur Tengah hingga Afrika utara.

Kemerosotan itau menyebabkan pasukan Ottoman menarik diri dari wilayah terakhirnya yang tersisa di Levant (Irak).

Menyusul invasi Inggris, Prancis, Yunani, dan Italia, dan pendudukan Anatolia setelah perang, sisa-sisa tentara Ottoman -dipimpin Mustafa Kemal Ataturk-, bangkit.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved