Update Corona di DI Yogyakarta
Diprediksi Banyak Kasus Kekerasan Tersembunyi pada Anak dan Perempuan di DIY Selama Pandemi
DP3AP2 DIY mencatat angka laporan kasus kekerasan selama pandemi mengalami penurunan.
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY mencatat angka laporan kasus kekerasan selama pandemi mengalami penurunan.
Namun, hal itu perlu diwaspadai sebagai banyaknya kasus kekerasan yang tersembunyi.
Kepala Seksi Informasi Data Gender dan Kerjasama, DP3AP2 DIY, Arif Nasirudin mengatakan berdasarkan laporan layanan korban kekerasan perempuan dan anak dari lembaga layanan yang tergabung dalam Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota pada Januari-Maret 2020 tercatat sebanyak 313 korban yang ditangani.
Sejumlah 133 di antaranya berusia anak dan selebihnya perempuan.
Adapun laporan yang masuk selama April-Juni baru terlapor 101 korban.
• Kasus Kekerasan di Kota Yogya pada Maret 2020 Meningkat
Yang terdiri atas 33 orang berusia anak dan selebihnya perempuan.
“Dari sisi layanan memang terlihat turun datanya. Namun, ada beberapa catatan, bahwa korban kekerasan banyak yang mengalami kesulitan untuk mengakses layanan karena harus di rumah saja, takut untuk keluar rumah dan mengakses layanan umum. Misalnya, layanan korban di rumah sakit,” ujarnya saat dihubungi Tribunjogja.com, Rabu (17/6/2020).
Dengan demikian, kata dia, kemungkinan banyak korban kekerasan yang mengalami kekerasan pada masa pandemi ini tidak mengakses layanan, sehingga tidak tercatat dalam data.
“Ini kemudian yang beberapa waktu lalu dalam koordinasi FPKK ditekankan kepada semua lembaga untuk tetap dapat memberikan layanan dengan prosedur yang mempertimbangkan protokol kesehatan dengan baik sehingga layanan kepada korban tetap berjalan,” ungkapnya.
“Kedua, sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat oleh satuan tugas perlindungan perempuan dan anak yang ada di kabupaten/kota juga diminta terus digalakkan, sehingga tidak terjadi banyak kasus kekerasan yang tidak tertangani terjadi pada masa pandemi ini,” sambungnya.
• Prosentase Angka Kesembuhan Covid-19 di DIY Terus Meningkat, Kini Telah Capai 78,1 Persen
Waspada Pandemi Berpotensi Meningkatkan KDRT
Terpisah, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DP3AP2 DIY, Wredi Wyandani mengatakan hal serupa.
Secara internasional, kata Wredi, telah banyak diberitakan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat tajam selama pandemi.
Kondisi pandemi, menurutnya, sangat mungkin memicu peningkatan KDRT.
Sebab, ketika pandemi interaksi keluarga di rumah menjadi sangat intens, kondisi ekonomi kemungkinan menurun, dan anak belajar di rumah.
“Ketika permasalahan anak, ekonomi, hingga permasalahan secara psikis tertekan karena di rumah terus bisa memunculkan depresi, entah bagaimana tingkatannya, rendah, sedang, atau tinggi. Ini sangat bisa mengubah perilaku orang, potensi KDRT sangat tinggi. Tapi kita tidak tahu angkanya berapa karena mungkin tidak lapor,” paparnya.
Wredi mengakui, pendataan kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang dilakukan di DIY selama pandemi tidak menggambarkan hal itu.
• Grab Bersama FPL Berkomitmen Cegah Kekerasan Seksual
“Ini perlu kita waspadai juga. Tidak terjadi lonjakan itu karena tidak lapor atau memang kejadiannya sedikit,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, selama pandemi lembaga-lembaga yang biasa menangani korban kekerasan banyak yang tidak berani membuka layanan.
Di awal Covid-19, kata dia, hampir semua lembaga takut menerima korban karena mereka tidak memiliki alat pelindung diri (APD).
“Maka kita kumpul di FPKK, kita rumuskan kriterianya. Lalu apa yang harus dilakukan oleh petugas, klien, terkait protokol kesehatan,” ungkapnya.
Meskipun demikian, lanjut Wredi, selama pandemi pusat pelayanan terpadu perempuan dan anak (P2TPA) Korban Kekerasan DIY yakni Rekso Dyah Utami (RDU) tetap selalu membuka pelayanan.
Sejak pengaduan hingga penanganan kasus, jelas Wredi, semua menerapkan protokol kesehatan.
Semisal, petugas di tempat pengaduan memakai APD dan menjaga jarak.
“Kalau korban ini tidak bisa pulang karena takut atau kemudian harus tinggal di shelter, ini juga harus melalui karantina dulu. Ruang rapat di RDU dijadikan tempat karantina 14 hari,” tambahnya.
• Kasus Kekerasan Anak di Bantul Tinggi
Di RDU pun terdapat para profesional, semisal psikolog, dokter, dan pengacara yang akan menangani korban sesuai tingkatan kasusnya.
“Yang bisa melapor semua bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak,” imbuh Wredi.
Dia menyampaikan, kepada kalangan perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, jangan malu atau takut untuk melapor.
Wredi menerangkan, adalah hak mereka untuk mendapat perlindungan.
“Karena kadang orang takut untuk melapor karena menjaga nama keluarga dan dipikir ini aib, itu okelah ketika tidak membahayakan mereka. Tapi kalau sudah membahayakan jangan takut, jangan malu untuk melapor,” ungkapnya.
“Melapor ke mana? Ke semua lembaga yang berkonsentrasi pada perlindungan perempuan dan anak. Kalau seandainya lembaga A tidak bisa menangani, akan dirujuk ke lembaga B, karena kita sudah berjejaring. Dia tidak sendiri, yang membantu banyak sampai kasusnya selesai. Pendampingan itu tidak hanya pendampingan sesaat,” pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)