Wabah Virus Corona

UPDATE Terkini 5 Juni Jumlah Kasus Virus Corona Bertambah 703, Total Pasien COVID-19 Jadi 29.521

Dengan begitu, sejak awal diumumkan Maret lalu hingga Jumat sore hari ini, jumlah Pasien Positif Covid-19 di Tanah Air mencapai 29.521 kasus.

Editor: Rina Eviana
Kompas.com/Kristianto Purnomo
Petugas medis Dinas Kesehatan Kota Bogor melakukan uji cepat (rapid test) massal Covid-19 dengan skema drive thru di GOR Pajajaran, Bogor, Sabtu (4/4/2020). Sebanyak 128 orang dalam pemantauan (ODP) mengikuti rapid test ini dari target 284 orang. 

TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA -Kasus Virus Corona di Indonesia belum juga melandai. Dari data update virus corona yang disampaikan pemerintah hari ini, Jumat (5/6/2020) sore, terjadi penambahan kasus COVID-19 sebanyak 703 kasus.

Dengan begitu, sejak awal diumumkan Maret lalu hingga Jumat sore hari ini, jumlah Pasien Positif Covid-19 di Tanah Air mencapai 29.521 kasus.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyampaikan dalam 24 jam terakhir, Pasien Positif Covid-19 bertambah 703 kasus.

Ilustrasi virus corona yang merebak di Indonesia.
Ilustrasi virus corona yang merebak di Indonesia. (Shutterstock via kompas.com)

Dengan demikian, total pasien positif hingga Jumat pukul 12.00 WIB mencapai 29.521 kasus.

"Masih kita dapatkan konfirmasi kasus baru positif sebanyak 703 orang, sehingga menjadi 29.521 orang," kata Yuri dalam konferensi pers dari Graha BNPB, Jakarta, Rabu sore. Sementara itu, jumlah pasien yang sembuh bertambah 551 orang.

Maka, total pasien sembuh sampai saat ini menjadi 9.443 orang. Kemudian, kasus kematian bertambah 49, sehingga pasien COVID-19 meninggal dunia yaitu 1.770 orang.

Sebanyak 49.320 orang dalam pemantauan (ODP) dan 13.592 pasien dalam pengawasan (PDP) masih dipantau pemerintah. Kasus COVID-19 dikatakan Yuri telah menyebar di 420 kabupaten/kota di 34 provinsi.

Jokowi ingin lacak pakai GPS

Kasus Virus Corona belum mereda, Presiden Joko Widodo pun meminta agar pelacakan kasus positif CCOVID-19 bisa lebih agresif, mengandalkan teknolgi lebih canggih ketimbang cara konvensional.

Jokowi bahkan meminta secara spesifik, agar pelacakan kasus Corona di Indonesia menggunakan teknologi global positioning system ( GPS), seperti yang sudah dilakukan Korea Selatan dan Selandia Baru.

Dua negara itu adalah sedikit negara yang dianggap sukses menangani kasus corona di negaranya.

"Seperti yang kita lihat di negara-negara lain, misalnya di Selandia Baru mereka menggunakan digital diary, kemudian Korea Selatan juga mengembangkan mobile GPS untuk data-data sehingga pelacakan itu lebih termonitor dengan baik," kata Jokowi, Kamis (4/6/2020).

Menurut Jokowi, sistem manajemen data yang ada saat ini harus terus diperbaiki agar penanganan COVID-19 bisa dilakukan secara real time di semua lini.

Mulai dari laboratorium hingga gugus tugas di tingkat daerah. Dengan demikian, pengambilan keputusan dan kebijakan bisa lebih tepat dan akurat.

Aplikasi berbasis GPS di Korea Selatan

BERDAGANG DENGAN AMAN. Pedagang kaki lima Malioboro menata barang daganganya saat akan berjualan di jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Senin (1/6/2020). Sejumlah PKL kembali berjualan setelah tidak berdagang semenjak merebaknya pandemi virus Corona dengan memperhatikan protokol kesehatan, dengan penggunaan masker dan pelindung.
BERDAGANG DENGAN AMAN. Pedagang kaki lima Malioboro menata barang daganganya saat akan berjualan di jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Senin (1/6/2020). Sejumlah PKL kembali berjualan setelah tidak berdagang semenjak merebaknya pandemi virus Corona dengan memperhatikan protokol kesehatan, dengan penggunaan masker dan pelindung. (TRIBUNJOGJA.COM / Hasan Sakri)

Seperti di Indonesia, Korea Selatan juga tidak menerapkan lockdown atau karantina wilayah. Prinsip TRUST, yakni transparency (transparansi), robust screening and quarantine (skrining dan karantina yang kuat), universally applicable testing (tes yang universal), strict control (kontrol yang ketat) dan treatment (perawatan), menjadi kunci kesuksesan Korea Selatan.

Kontrol yang ketat ditunjang oleh berbagai teknologi, seperti riwayat transaksi kartu kredit, rekaman CCTV, dan aplikasi berbasis GPS mobile. Melansir Straits Times, pemerintah Korea Selatan mengembangkan aplikasi berbasis GPS bernama "selfhealth check". Aplikasi itu pertama kali digunakan di Daegu dan sekitar provinsi Gyeongsang Utara.

Aplikasi itu digunakan untuk melacak pendatang yang baru tiba di Korea Selatan, dan juga mengawasi mereka yang sedang dikarantina.

Menristek Sebut Indonesia Bisa Bikin Vaksin Virus Corona Mandiri, Imunisasi Massal Bisa Tahun Depan

Apabila mereka meninggalkan lokasi karantina, maka alarm di ponsel akan berbunyi. Data GPS ini juga digunakan untuk melacak siapa saja yang pernah berkontak dengan pasien postif.

Selain itu, GPS juga akan memberi tahu pengguna lokasi yang pernah dikunjungi pasien positif COVID-19 100 meter sebelum sampai di lokasi tersebut. Namun, aplikasi ini memuat beberapa informasi pribadi, seperti kewarganegaraan, gender, dan usia.

Ada pula aplikasi serupa bernama Coronamap. Dengan aplikasi ini pengguna bisa melihat sekilas melalui peta, di mana pasien menjalani karantina.

Ada juga informasi tanggal kasus terkonfirmasi dan rumah sakit mana saja yang dikunjungi pasien positif. Aplikasi Digital Diary di Selandia Baru Selandia Baru membuat terobosan agak berbeda dengan Korea Selatan.

Alih-alih membuat aplikasi pelacak COVID-19 saat kasus memuncak, negara ini malah baru membuat aplikasi berbasis GPS saat kasus melandai.

Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern menyebut aplikasi pelacak tersebut sebagai "digital diary". Aplikasi itu mencatat perjalanan pribadi penggunanya sambil memastikan data yang tersimpan aman. "Sambil berjaga-jaga jika pada kemudian hari Anda terjangkit COVID-19, Anda punya referensi untuk menceritakan ke mana saja Anda pergi dalam periode tertentu," kata Ardern, seperti dikutip Antara dari dari Reuters (18/5/2020).

Melansir Newsroom, aplikasi ini akan membantu pengguna ketika mereka keluar dari tempat keramaian, seperti restoran atau kafe, sambil menyimpan data pergerakan mereka. 

Ardern mengatakan data pengguna tidak akan dibagikan ke pihak manapun.

"Itu untuk Anda, itu perangkat Anda, dan itu data serta informasi Anda," kata Ardern. Berbeda dengan Indonesia atau Korea Selatan, Selandia Baru sempat menerapkan lockdown atau karantina wilayah selama hampir lima pekan.

Namun saat ini, Selandia Baru telah melonggarkan pembatasan sosial sejak tidak ada kasus baru COVID-19 yang terkonfirmasi.

Indonesia punya "PeduliLindungi"

Akan tetapi, GPS bukan satu-satunya teknologi yang digunakan untuk melacak pergerakan warga demi membendung penularan COVID-19.

Sebagian negara lebih memilih menggunakan aplikasi berbasis bluetooth. Salah satunya Indonesia yang sudah memiliki aplikasi bernama PeduliLindungi. Aplikasi ini kurang lebih sama dengan yang dikembangkan pemerintah Singapura, bernama TraceTogether.

PeduliLindungi akan mengumpulkan data yang diperlukan dari ponsel pengguna sambil mengaktifkan koneksi bluetooth.  

UPDATE Virus Corona di Seluruh Dunia 5 Juni 2020, Daftar 20 Negara dengan Catatan Kasus Tertinggi

Ketika ada ponsel lain dalam jangkauan bluetooth yang juga terdaftar dalam aplikasi PeduliLindungi, akan ada pertukaran informasi yang direkam oleh masing-masing perangkat. Lalu, aplikasi akan mengidentifikasi orang-orang yang pernah berada dalam jarak dekat, dengan orang yang dinyatakan positif Covid-19 atau berstatus PDP dan ODP.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G. Plate mengatakan data pengguna aplikasi PeduliLindungi aman. Seluruh data akan dihapus apabila pandemi Covid-19 berakhir. "Telah menugaskan dan mewajibkan semua pihak yang mengelola aplikasi ini untuk melakukan pembersihan seluruh data nanti pada saat keadaan darurat kesehatan berakhir," jelas Johnny dalam sebuah konferensi pers di Graha BNPB, Sabtu (18/4/2020).

GPS berpotensi langgar privasi

ILUSTRASI - Suasana RDT massal hari ketiga di GOR Pangukan, Kamis (14/5/2020)
ILUSTRASI - Suasana RDT massal hari ketiga di GOR Pangukan, Kamis (14/5/2020) (IST| Dok Humas Sleman)

GPS tidak menjadi pilihan beberapa negara untuk melacak pergerakan pasien COVID-19 karena warganya khawatir jika data mereka disimpan pemerintah dan bisa disalahgunakan. Apalagi, jika informasi tentang kesehatan bocor, bisa merugikan individu.

Bahkan Google dan Apple yang bekerja sama membuat API khusus untuk aplikasi pelacak corona, melarang penggunaan GPS apabila pemerintah mengembangkan aplikasi menggunakan sistem mereka.

Sistem buatan Google dan Apple hanya menggunakan sinyal bluetooth untuk mendeteksi kontak, tidak menggunakan atau menyimpan data lokasi GPS.

Selain karena alasan privasi, GPS dinilai menghabiskan banyak data jika terus menerus diaktifkan. Kini, tools untuk melacak penyebaran virus tersebut kabarnya sudah disebar ke berbagai lembaga kesehatan dunia, sehingga lembaga-lembaga tersebut bisa mengembangkan aplikasi pelacak COVID-19, baik di platform Android maupun iOS. Setiap negara hanya diperbolehkan membuat satu aplikasi pelacak berbasis sistem Google dan Apple.

Tujuannya adalah untuk meminimalisir fragmentasi dan agar bisa diadopsi lebih luas.(Kompas.com)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved