Update Pasien Sembuh dan Positif Corona Terbanyak di Indonesia, Jakarta, Jatim, Jabar, Sulawesi
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 merilis data pasien sembuh virus corona di beberapa provinsi di Indonesia.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
“Orang keluar gampang tidak pakai masker. Itu nantang namanya. Bagi dia mungkin enteng, tapi bagi orang lain mungkin membahayakan. Sekarang itu kita harus hidup secara bersama-sama,” jelas Joko.
Dia menjelaskan, hidup kita dalam bermasyarakat saat ini tidak akan sama dengan satu atau dua tahun lalu.
“Ini hidup yang baru, kita dipaksa oleh Covid. Hidup seperti ini bisa bertahun-tahun belum selesai. Bukan hanya sebulan dua bulan. WHO (badan kesehatan dunia) sudah bilang demikian,” tuturnya.
Joko menambahkan, bagi orang yang menolak memakai masker berpotensi menularkan virus kepada keluarga dan orang dekatnya. “Orang yang ngeyel tadi keluarganya bisa kena, tetangganya kena,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dia menyerukan masyarakat untuk mematuhi, mengikuti, dan disiplin terhadap protokol pencegahan Covid-19 yang ditetapkan pemerintah.
“Hidup mati itu sudah ditentukan sebelum kita lahir. Tapi sebagai manusia harus berusaha yang optimal, caranya dengan melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), physical distancing (jaga jarak), jangan berkumpul dan bekerumun, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir,” pungkasnya.
Apa Kata Pakar Kebijakan Publik?
Guru besar Ilmu Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Erwan Agus Purwanto menyampaikan pandangannya terkait hal ini.
“Saya kira itu sangat baik, ya, agar transmisi Covid-19 di DIY bisa dikendalikan. Sehingga segera bisa dicapai transmisi nol secara berturut-turut 14 hari yang menandakan bahwa Covid-19 sudah bisa dikalahkan di DIY,” ujarnya saat dihubungi Tribunjogja.com , Sabtu (16/5/2020).
Ditanya apakah perlu menerapkan sanksi denda bagi masyarakat yang tidak memakai masker, menurutnya, mekanisme untuk membuat masyarakat patuh tidak harus dengan denda.
“Akan tetapi menumbuhkan kesadaran bahwa kalau kita ingin segera kembali hidup normal pasca Covid (atau sekarang disebut new normal), maka seluruh komponen masyarakat harus berkontribusi,” tambahnya.
Dalam hal ini, sambung Erwan, memakai masker harus kita tumbuhkan sebagai norma baru, seperti orang harus memakai pakaian pantas kalau keluar dari rumah. Sehingga memakai masker ketika keluar rumah harus kita tanamkan dalam benak masyarakat sebagai kepantasan baru.
“Sebab dengan memakai masker berarti individu berkontribusi bagi kesehatan dirinya, orang lain, dan masyarakat,” imbuhnya.
Dia menambahkan, untuk itu peran tokoh masyarakat dan tokoh agama sangat sentral dalam mengajak masyarakat untuk menyukseskan gerakan memakai masker ini.
Di dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dijelaskan tentang sanksi bagi orang yang tidak mengindahkan protokoler kesehatan Covid-19.
Ditanya mengenai UU tersebut, menurut Erwan, dimungkinkan saja jika UU tersebut dijadikan payung hukum, namun tidak akan mudah mencapai tujuannya bila tanpa didukung kesadaran masyarakat.
“Tidak mudah menegakkan aturan tanpa dukungan kesadaran masyarakat. Jumlah masyarakat yang diawasi dengan jumlah Satpol PP yang menjadi instrumen penegakan aturan tersebut sangat tidak sebanding. Dalam kasus PSBB (pembatasan sosial berskala besar) saja kita tahu tidak mudah menegakkan aturan, apalagi daerah yang belum memberlakukan PSBB,” jelasnya.
Dia menyimpulkan, kesadaran masyarakat adalah hal terpenting dan paling efektif bagi kondisi masyarakat DIY.
“Jadi kesadaran masyarakat menjadi akan lebih efektif dan lebih berdampak daripada pendekatan legalistik tersebut. Ajak tokoh-tokoh masyarakat dan agama menggaungkan hal ini. Saya duga itu akan lebih efektif bagi DIY,” pungkasnya. ( Tribunjogja.com | Maruti Asmaul Husna )