Kisah Warga Suriname Tangisi Didi Kempot, Murni Dasai : Saya Nangis dari Pukul 4 Sampai 11
Kisah Warga Suriname Tangisi Didi Kempot, Murni Dasai : Saya Nangis dari Pukul 4 Sampai 11
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Hari Susmayanti
Tahun berikutnya, 2010, Didi Kempot datang di Suriname, diundang buat pentas. Murni waktu itu sudah pulang, lalu bertemu kembali dengan maestro campur sari modern itu.
Kunjungan Didi Kempot bersamaan dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi. Murni dan teman-teman sesama alumni pelajar, mahasiswa yang pernah tinggal di Indonesia, menggelar meet and greet sekaligus penggalangan dana.
"Mas Didi kita undang. Kami berhasil mengumpulkan uang sebesar $ 7.000, cukup untuk belikan material bangun rumah, alat-alat dapur bagi para ibu, dan alat-alat sekolah buat anak-anak 3 desa di Magelang," lanjut Murni yang mengelola sebuah pusat kebugaran ini.
Ia menambahkan, popularitas Didi Kempot di Suriname luar biasa. Hampir semua orang mengenalnya. Sosoknya juga sederhana, ramah, mau bertegur sapa dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan.
"Setiap kali kalau Mas Didi ke Suriname, orang sini suka," imbuh Murni Dasai. Ia terakhir berjumpa Didi Kempot saat Konser Layang Kangen 2018 di Paramaribo.
"Kali terakhir ketemu Mas Didi itu show terakhir di Suriname. Saya dan teman saya dikasih kesempatan jadi MCnya," kata Murni yang dalam video rekaman konser itu mengenakan baju kebaya hijau saat di panggung.
Baginya pertunjukan Didi Kempot itu sangat mengesankan. Penontonnya berjubel, memenuhi gedung besar lokasi show. Bahkan, Presiden Suriname juga hadir.
"Kita semua di Suriname seneng karo mas Didi. Seneng karo musiknya. Dan pasti akan kangen ama Mas Didi," sebut Murni dalam bahasa campur Jawa Indonesia.
"Bagi kami orang Suriname, Mas Didi juga orang Suriname," tegasnya menunjukkan betapa dalam sosok Didi Kempot memenuhi dahaga kerinduan warga keturunan Jawa di Suriname.
Warga etnis Jawa dan keturunan Jawa karena sudah ada kawin campur dengan etnis lain, cukup dominan di negara di kawasan Amerika Selatan.
Tokoh-tokoh keturunan Jawa menempati posisi yang cukup menentukan di pemerintahan maupun parlemen. Juga di sektor ekonomi bisnis, pendidikan dan dunia hiburan.
Sejarah panjang kehadiran etnis Jawa di Suriname bermula ketika kolonialis Belanda mendatangkan buruh atau kuli kontrak perkebunan di negara itu.
Rombongan pertama kuli kontrak dari Jawa dikapalkan ke Suriname pada 1890. Mereka dipilih setelah perbudakan dilarang. Sebelumnya kolonialis mempekerjakan budak dari India.
Angkatan pertama kuli kontrak Jawa di Suriname berjumlah 100 orang Jawa, ditempatkan di Marienburg, perkebunan tebu terbesar di Suriname.
Periode 1890-1916, rerata orang Jawa datang ke Suriname berjumlah 700 orang per tahun. Jumlahnya berlipat pada 1916 setelah pekerja kontrak India-Britania tak lagi dipakai.