Laut China Selatan Memanas, China Gelar Latihan Militer, Disebut Pemanasan Perang Lawan Amerika
Armada angkatan laut China melakukan latihan misi pengawalan melalui Kepulauan Spratly di Laut China Selatan setelah menyelesaikan operasi anti-pembaj
TRIBUNJOGJA.COM, BEIJING - Armada angkatan laut China melakukan latihan misi pengawalan melalui Kepulauan Spratly di Laut China Selatan setelah menyelesaikan operasi anti-pembajakan di Teluk Aden, Somalia.
Pengamat mengatakan misi oleh armada pengawal angkatan laut Cina ke-35 ini adalah untuk meningkatkan pelatihan untuk kapal-kapal tempur dan meningkatkan perlindungan terhadap pembajakan untuk kapal-kapal dagang China.
Media resmi Tentara Pembebasan Rakyat PLA Daily melaporkan bahwa armada yang digunakan, termasuk kapal perusak Taiyuan dan fregat Jingzhou, melakukan latihan untuk menyelamatkan kapal yang dibajak dan mengoordinasikan operasi anti-pembajakan di Spratlys, yang disebut sebagai Kepulauan Nansha oleh China, melewati Selat Miyako dan Bashi Channel.
Perwira Angkatan Laut PLA Yang Aibin mengatakan bahwa armada China fokus pada latihan tempur untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menanggapi kondisi laut dan udara.
“Pada saat yang sama, dalam menanggapi situasi baru yang diciptakan oleh epidemi global (Covid-19) dan bajak laut di daerah terdekat, kami terus meningkatkan rencana kami untuk lebih meningkatkan kemampuan armada untuk melakukan pengawalan tugas," katanya dikutip Kontan.
Latihan itu dilakukan ketika Amerika Serikat meningkatkan kebebasan operasi navigasi di perairan yang disengketakan dengan menantang klaim maritim Beijing. Kapal perusak berpeluru kendali AS USS Barry juga melakukan misi navigasi kebebasan di dekat Kepulauan Paracel.
• Minuman Buka Puasa Sederhana dengan Harga Terjangkau, Berikut Resepnya
AS telah lama menuduh China membangun fasilitas militer di Laut China Selatan dengan mengerahkan rudal jelajah anti-kapal dan rudal darat-ke-udara jarak jauh.
Collin Koh, seorang peneliti di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam, yang berbasis di Nanyang Technological University di Singapura, mengatakan latihan di Spratlys dan menyebutkan pandemi Covid-19 tampaknya berkaitan dengan operasi AS di Laut China Selatan.
“Ini adalah pertama kalinya kapal perusak Taiyuan dan fregat Jingzhou memulai misi ini. Karena itu, selalu tepat untuk pemula seperti dua kapal tempur ini untuk mendapatkan lebih banyak paparan pelatihan laut jauh dalam perjalanan ke penyebaran operasional di Teluk,” kata Koh.
“Satu-satunya konteks yang berbeda kali ini adalah perkembangan Laut China Selatan baru-baru ini, oleh karena itu memberikan makna baru bagi Spratly. Beijing jelas berniat melenturkan ototnya pada kesempatan penempatan gugus tugas ini untuk menegaskan klaimnya terhadap apa yang dilihatnya sebagai campur tangan AS di daerah tersebut,” ungkap dia.
Sementara Song Zhongping, seorang komentator urusan militer yang berbasis di Hong Kong, mengatakan perompak mungkin melihat pandemi Covid-19 sebagai kesempatan untuk menyerang kapal, dan kemampuan dukungan pengawalan yang kuat diperlukan oleh China.
Pembajakan bukan satu-satunya ancaman. Song mengatakan, China menghadapi risiko serangan yang disponsori negara terhadap kapal-kapalnya, merujuk pada seruan pensiunan perwira militer AS untuk penggunaan prajurit untuk memerangi agresi China di laut.
• Enam Klub Liga Inggris yang Kehilangan Pemasukan Terbesar Jika Laga Digelar Tertutup
“Armada pengawal angkatan laut China mungkin juga perlu menanggapi ancaman yang disponsori negara yang dihadapi kapal-kapal Tiongkok. Ini berarti harus ada tuntutan pelatihan yang lebih ketat pada armada angkatan laut kita,” katanya.
Perang dingin
Hubungan antara China dengan Amerika mengalami kemunduran yang sangat dramatis dalam beberapa hari terakhir. Sejumlah pakar menilai, hubungan bilateral kedua negara telah jatuh ke titik terendah dalam beberapa dekade terakhir.
Melansir South China Morning Post, selama sepekan terakhir, pemerintahan Trump telah mengancam untuk membatalkan kesepakatan perdagangan fase satu dan meningkatkan pemberlakuan tarif terhadap China. Amerika juga terus mendorong teori-teori yang menyatakan bahwa virus corona adalah buatan manusia yang bocor dari laboratorium di kota Wuhan.
Sebagai balasan, media pemerintah China dan sejumlah diplomatnya di beberapa negara telah meningkatkan serangan melalui media sosial kepada tokoh-tokoh politik AS.
Melihat kondisi ini, sejumlah analis menilai hubungan China dan AS semakin memburuk. "Amerika Serikat dan China sebenarnya berada di era Perang Dingin yang baru," kata Shi Yinhong, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Renmin China dan penasihat Dewan Negara Tiongkok.
Dia menambahkan, “Berbeda dari Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, Perang Dingin baru antara AS dan China memiliki kompetisi penuh dan perputaran cepat. Hubungan AS-China tidak lagi sama dengan beberapa tahun yang lalu, bahkan tidak sama dengan beberapa bulan yang lalu.”
• Pilihan Makanan yang Salah Ternyata Berpengaruh pada Tidur
Saat retorika tentang "Perang Dingin baru" adalah pokok pembicaraan yang umum di Washington, namun kata-kata itu jarang digunakan di depan umum oleh para penasihat dan pakar politik luar negeri China. Bagaimanapun, Perang Dingin yang asli berarti akhir dari Uni Soviet dan menghasilkan Amerika Serikat sebagai pemenangnya.
Anti-Tiongkok
Reuters melaporkan pada hari Senin, dokumen pemerintah China yang bocor mengatakan sentimen global anti-Tiongkok berada pada titik terburuk sejak 1989, ketika Beijing secara brutal menindak aksi protes di Lapangan Tiananmen.
Yu Wanli, wakil direktur di lembaga think tank Lian An Academy di Beijing, setuju bahwa hubungan AS-China berada pada titik terendah sejak penumpasan Tiananmen.
“Saya selalu optimis tentang hubungan AS-China sampai saat ini. Di masa lalu, Anda selalu dapat menemukan suara pro-China pada spektrum politik AS, tetapi tidak ada suara seperti itu dalam pemerintahan Trump," kata Yu. Dia merujuk ke jajak pendapat Pew baru-baru ini di mana dari 1.000 orang Amerika, 66% responden memiliki pandangan yang tidak menguntungkan tentang Tiongkok.
Chen Zhiwu, direktur Institut Global Asia di Universitas Hong Kong, mengatakan situasi kali ini adalah yang terburuk yang pernah dilihatnya dalam lebih dari 40 tahun sepanjang dia mempelajari masalah AS-China.
• 11 Daftar Drakor Terbaik Menceritakan Kehidupan Sekolah, Bikin Kamu Mengenang Masa SMA
“Bahkan pada tahun 1989, sentimen yang mendasari orang Amerika terhadap Tiongkok tidak terlalu buruk. Itu jauh lebih buruk dan jauh lebih mengakar. Tiongkok dapat berhenti menggunakan saluran diplomatik dan juru bicara untuk lebih jauh mengobarkan retorika, karena upaya semacam ini tidak membantu," paparnya.
Zhiwu juga bilang, suasananya bahkan lebih dingin sekarang dibandingkan pada titik rendah 2018 dan 2019, ketika Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif pada barang-barang China dalam upaya untuk memaksa perubahan struktural pada ekonomi terbesar kedua di dunia.
