Bantul

Tas Rajut dari Bantul Ini Diekspor Hingga Amerika dan Eropa

Kerajinan tangan rajut Kaaybags digagas oleh Anis Muayanti pada 2009. Kini, Kaaybags mampu memproduksi 25 ribu kerajinan rajut setiap bulan. Hasil kar

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Maruti A. Husna
BERGAYA - Anis Muayanti, pemilik usaha kerajinan rajut Kaaybags dari Bantul menunjukkan hasil karya tas rajut bernilai ekspor 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

Kerajinan tangan rajut Kaaybags digagas oleh Anis Muayanti pada 2009. Kini, Kaaybags mampu memproduksi 25 ribu kerajinan rajut setiap bulan. Hasil karya itu diekspor hingga Amerika dan Eropa.

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Tas rajut warna-warni terpajang di dinding rumah. Sandal dan sepatu yang juga hasil rajutan seketika menarik perhatian mata.

Siapa sangka, di pinggir gang sempit suatu desa di Bantul terdapat prakarya yang bernilai ekspor.

Dari luar, bangunan workshop kerajinan tangan Kaaybags itu sudah mencolok dibanding rumah-rumah penduduk sekitarnya.

Lokasinya ada di Jl. Karang Asem No.75, Singosaren, Banguntapan, Bantul. Dekat dengan Ringroad Selatan.

Saat masuk ke dalam, seisi ruangan dipenuhi produk-produk kerajinan berkualitas. Semuanya dari bahan rajutan.

Anis Muayanti adalah sosok di balik benda-benda berkelas nan cantik itu.

Pemilik rumah produksi kerajinan rajut Kaaybags itu mengatakan semua produk yang dihasilkannya merupakan pekerjaan tangan para pengrajin alias handmade.

Pemkot Magelang Dorong IKM Kerajinan Terus Tingkatkan Kualitas Produk

Berkat kualitas produk yang sangat dijaga itu, produk-produk Kaaybags sudah diekspor hingga ke mancanegara.

Misalnya, Amerika Serikat lewat merek The Sak, selain itu Malaysia, Arab, Jepang, dan Perancis lewat berbagai merek lainnya.

"Kami yang produksi, lalu dibeli oleh merek-merek internasional," tutur sosok kelahiran 12 Januari 1977 ini.

Sementara, merek lokal yang setia menjadi pelanggan Kaaybags pun tidak kalah banyaknya.

Beberapa di antaranya adalah Madanara, Athalia, Demes Bag, Derins, Vinza, dan Batik Keris.

Untuk perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang direncanakan berlangsung pada Oktober 2020, Kaaybags pun kebagian pesanan.

"Ada pesanan 50 ribu buah untuk PON nanti. Sepertinya untuk suvenir para atlet. Tapi baru dimulai April nanti. Belum tahu keputusan Pemda selanjutnya karena corona ini," tutur Anis.

Dalam satu bulan, Kaaybags memiliki kapasitas produksi 25 ribu produk, baik tas, dompet, atau produk lain yang mereka hasilkan.

Jogjavanesia Craft, Kerajinan Serat Alam yang Mendunia dari Kulon Progo

Anis menjelaskan, kini terdapat 300 lebih pengrajin yang bekerja bersama dirinya.

Pengrajin itu tersebar di banyak wilayah, yaitu DIY, Jember, Bali, Bayuwangi, Temanggung, dan Semarang.

Titik balik Anis menekuni usaha kerajinan rajut dimulai pada 2009.

Sebelumnya, sejak 2008 alumnus Fakultas Farmasi UGM itu sudah menggeluti usaha tas berbahan vinil.

"Suatu hari saya beli tas rajut dari seorang bapak. Waktu tas itu saya bawa ke luar, seorang teman bertanya, beli di mana? Lalu, saya bilang bikin sendiri," ungkap Anis diikuti tawa geli.

Ia mengaku saat itu refleks mengatakan "bikin sendiri", sebab terbiasa mengatakannya untuk usaha tas vinilnya.

"Eh, ternyata dalam seminggu dapat orderan tas rajut sampai enam. Saya menghubungi bapak itu lagi untuk dibuatkan," tutur Anis.

Setelah dijalani, sang bapak yang bekerja seorang diri ternyata baru menyelesaikan enam orderan tersebut selama tiga bulan.

"Kan terlalu lama. Akhirnya saya coba mencari pengrajin tambahan. Ternyata, saya diberi jalan yang mudah. Saya dipertemukan dengan mbak-mbak yang pernah bekerja 18 tahun di suatu merek kerajinan. Perusahaan itu seperti moyangnya kerajinan rajut," tukas istri dari Heri Nirwanto itu.

Gayung bersambut, bersama mantan karyawan itu Anis mengembangkan bisnisnya. Awalnya, mereka bersama-sama mencari penjahit dan pengrajin.

Pengrajin tersebut kebanyakan dari kalangan ibu-ibu rumah tangga. Bahkan, simbah-simbah dan anak-anak putus sekolah ikut terangkul di dalamnya.

Menurut Anis, ada banyak kisah mengharukan dari 300 lebih pengrajin yang ikut dengan dirinya.

Temu Pelanggan BBKB Yogyakarta, Dorong Kualitas Industri Batik dan Kerajinan

"Ada ibu sudah tua yang dulunya tidak lulus sekolah. Mungkin SMP juga tidak lulus. Tapi ia punya motivasi besar untuk menyekolahkan sang anak. Di tahun ketujuh bekerja penuh bersama kami, ia berhasil meluluskan anaknya hingga sarjana pada 2019 kemarin," papar Anis.

Ada pula cerita sederhana namun cukup menyentuh.

Seorang nenek berusia di atas 60 tahun, mampu membelikan sepeda untuk cucunya setelah beberapa tahun menjadi pengrajin Kaaybags.

Ada lagi, kisah seorang ibu pengrajin yang mampu pergi umrah.

"Ada ibu-ibu, suaminya sudah nggak ada. Anaknya sudah bekerja semua. Ibu ini pekerja keras dan rajin menabung. Di tahun kelima bekerja, ia berhasil pergi umrah. Itu sudah ia niatkan sejak awal bekerja bersama kami," kata Anis dengan mata berbinar.

Menurut Anis, dalam sehari seorang pengrajin mampu mengerjakan dua rajutan tas.

Pendapatan yang diperoleh dari itu mencapai Rp50 ribu-Rp60 ribu.

Bahkan pendapatan seorang pengrajin dalam sehari bisa mencapai Rp90 ribu jika lebih bekerja keras.

Produk yang dihasilkan Kaaybags di antaranya tas, dompet, sepatu, sandal, sajadah, taplak, bros, dan gantungan kunci.

Untuk harga retail, dompet dibanderol Rp35 ribu-Rp145 ribu, sepatu Rp300 ribu-Rp395 ribu.

Sementara, produk tas dibagi tiga. Tas ukuran medium dihargai Rp180 ribu-Rp225 ribu, ukuran besar Rp250 ribu-Rp349 ribu, dan kualitas premium (finishing berbahan kulit) Rp400 ribu-Rp1,25 juta.

Anis mengaku jiwa wirausaha diwariskan dari kedua orang tuanya. Ibu dari tiga anak itu pun saat S1 pernah mampu membayar SPP sendiri dari hasil berjualan jilbab.

Innovating Jogja Kembali Digelar, Buka Kesempatan Jaring Start-Up di Bidang Kerajinan dan Batik

Wanita yang pernah menjadi dosen itu berharap ke depan para pengrajinnya bisa terus memiliki pekerjaan.

"Dulu sempat geger saat produk rajut dari Cina masuk ke Indonesia. Mereka jual Rp50 ribu per tas, sedangkan kami Rp300 ribu. Tapi kualitasnya sangat jauh. Mereka pakai mesin, ketahanan produk rendah. Tapi sekarang sudah nggak ada lagi itu," ungkapnya.

Selain itu, ia pun berharap agar nilai dolar tidak terus meningkat. Sebab bahan baku benang yang dia gunakan kebanyakan produk impor.

"Akibat dari corona ini sudah sangat terasa. Omzet turun hingga 60 persen. Banyak negara luar yang biasanya pesan sekarang berhenti," jelas Anis. (TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved