Karena Virus Corona, Pemain Barca Ini Keluar Rumah Hanya untuk Buang Sampah

Ivan Rakitic Bintang Barcelona Ivan Rakitic mengatakan dia keluar rumah hanya untuk membuang sampah saja.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
GABRIEL BOUYS / AFP
Pemain Real Madrid, Vinicius Junior (kanan) adu kuat dengan gelandang Barcelona Ivan Rakitic pada pertandingan sepak bola Liga Spanyol antara Real Madrid dan Barcelona di stadion Santiago Bernabeu di Madrid pada 1 Maret 2020. 

Di Hongkong, pelacakan terhadap seseorang dilakukan hingga aktivitas dua hari terakhir sebelum pasien terindikasi mengalami symptom atau tanda-tanda terinfeksi.

Jika data sudah fix, mereka akan direkomendasi untuk menjalani langkah-langkah karantina mandiri di rumah hingga isolasi di fasilitas kesehatan.

Hongkong juga menerapkan aturan para pendatang yang baru tiba di wilayah itu, harus mengenakan alat pelacak elektronik supaya mobilitas mereka diketahui.

Kebijakan ketat seperti ini diikuti sejumlah aturan penegakan hukum yang keras. Singapura menerapkan aturan hukuman penjara bagi para pelanggar kebijakan isolasi dan karantina.

Di China, tentara dan polisi akan menangkap siapa saja yang berkeliaran di jalan tanpa alasan, atau tidak mengenakan masker saat di luar rumah.

Kebijakan keras ini sulit ditiru di banyak negara atas berbagai alasan dan pertimbangan. Selain jumlah penduduk besar, factor religius, social, budaya, dan alasan kebebasan sipil menghambat mereka.

“Kita bisa melakukan itu karena kita kecil,” jelas Prof Ooi menjelaskan mengapa kebijakan ketat itu bisa diterapkan di Singapura.

Pelajaran 4: Jaga Jarak Sosial

Kebijakan jaga jarak interaksi social (social distancing) dianggap cara paling ideal yang bisa diterapkan di semua negara.

Namun, kebijakan ini juga menimbulkan komplikasi lain mengingat akivitas kehidupan ekonomi dan sosial masih berjalan.

Di Wuhan, lokasi pertama menyebarnya virus Corona, ada 5 juta orang meninggalkan kota itu sebelum datang keputusan isolasi kota.

Perpindahan orang dalam jumlah besar ke kota lain itu menimbulkan persoalan kecepatan penyebaran virus. China akhirnya membuat keputusan karantina terbesar di berbagai kota dalam sejarah.

Italia dan Spanyol menerapkan isolasi kota, setelah wabah Corona menghajar kedua negara. New York dan Kalifornia meniru langkah yang sama.

Ketika wabah sedang di puncak menjangkit Singapura dan Hongkong, kebijakan gradual diterapkan pemerintah setempat.

Sekolah di Singapura tetap dijalankan ketat, sementara di Hongkong ditutup total. Ini perbedaan-perbedaan langkah yang dilakukan, tapi efektif.

Social distancing menurut Prof Ooi harus dinaikkan levelnya jadi isolasi jika jumlah kasus meningkat drastis. Faktor lain yang turut menentukan kultur dan kedisiplinan warga.

Pelajaran 5: Publik Harus Menerima Informasi yang Benar

“Jika Anda tidak mendapat dukungan kerjasama masyarakat, kebijakan Anda tidak akan efektif,” kata Prof Tikka Pangestu.

“Hal terpenting yang bisa dilakukan, tunjukkan kebijakan Anda itu berdasar bukti-bukti ilmiah,” lanjutnya.

Pemerintah China dikecam karena dianggap lamban menemukan jejak wabah virus Corona, termasuk membiarkan aktivitas warga Wuhan tetap seperti biasanya ketika kasus pertama ditemukan.

Otoritas China juga dikritik karena justru menindak dr Li Weinliang, orang pertama yang menemukan symptom wabah flu lalu membuat twit menggemparkan di Weibo.

Li Weiliang akhirnya meninggal dunia akibat terjangan virus Corona yang ditemukannya. Namun sesudah kesalahan itu, China bergerak cepat, lalu memutuskan aksi-aksi ekstrem.

Di AS, Presiden Donald Trump dianggap mengabaikan peringatan-peringatan dini kalangan medis serta intelijen, yang menengarai bahaya besar wabah Corona.

“Respon atas penyebaran virus harus bersifat transparan dan kuat dasarnya. Ini akan membuat warga tidak panik,” jelas Prof Ooi.

Publikasi peta persebaran virus yang selalu diperbarui akan membantu masyarakat mengenali secara dini lingkungannya. Hal ini dilakukan di Hongkong, Korsel, Singapura, dan berhasil baik dampaknya.

Kemampuan “public speaking” para pemimpin pemerintahan yang daerahnya jadi pusat wabah, juga akan menentukan situasi di tengah masyarakat yang dipimpinnya.

Pelajaran 6: Perilaku Warga

Kebiasaan, kepatuhan, dan perilaku warga akan sangat menentukan bagaimana penanganan wabah Coronavirus berlangsung.

Hongkong, selama berbulan-bulan dilanda demonstrasi sipil yang tidak mempercayai pemimpin eksekutif Hongkong.

Kepercayaan public Hongkong terhadap pemerintahan sangat rendah. Namun, ketika wabah Corona merebak, warga menunjukkan tertib sosial secara mandiri.

Mereka secara sukarela menjalankan “social distancing”, termasuk ketika puncak perayaan Imlek, atau tahun baru China.

Prof Tikki Pangestu mempercayai, warga Hongkong tidak terlalu mempercayai pemerintahan eksekutif yang mengelola wilayah itu.

“Tapi mereka sangat bangga pada Hongkong, dan penyebaran wabah itu bisa membahayakan identitas teritorinya,” katanya. Pemikiran itu menjadikan usaha meredam wabah jauh lebih efektif.

Karin Huster, perawat dan aktivis Doctors Without Borders menilai, iklim tertentu tidak bisa didapatkan di beberapa negara.

“Saya pikir di Amerika, warga sangat individual. Ini menjadikan hambatan besar ketika kebebasan harus dikorbankan,” kata Huster.

Warga di barat, menurut Huster, umumnya sangat sulit disuruh mengenakan masker. Sebaliknya, orang-orang Asia terbiasa, karena sekaligus masker dipakai untuk menghindari pelecehan di tempat terbuka.

Benyamin Cowling, professor epidemiologi Universitas Hongkong menjelaskan, masker bukan peluru ajaib melawan virus Corona.

“Tapi mengenakan masker, mencuci tangan menggunakan antiseptic, dan jaga jarak, bisa membantu meredaml penyebaran virus,” katanya.(Tribunjogja.com/BBC/ xna/iwe)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved