Bantul
Penggarap Lahan Pertanian Pasir di Bantul Keluhkan Klaim Tanah Sultan Ground Jadi Tanah Kas Desa
Mereka meminta agar difasilitasi mediasi supaya jelas duduk perkara dan penyelesaiannya, antara warga pemilik hak pakai Sultan Ground, warga penggarap
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Sudah hampir satu bulan, Arman Apriyanto, 29, dan Maryanto, 40, terhambat menanam melon.
Penggarap lahan pasir di wilayah Cangkringan, Desa Poncosari, Srandakan itu mengeluhkan adanya larangan penggunaan Buldoser untuk meratakan lahan pasir.
Padahal keduanya sudah menggarap lahan Sultan Ground (SG) itu sejak empat tahun silam.
Namun, menurutnya baru sekarang ini dipermasalahkan.
"Selama empat tahun tidak apa-apa. Tetapi sejak tanggal 11 Februari kemarin, pas kami sedang menyiapkan lahan (dengan Buldoser), tiba-tiba dihentikan," kata Arman, di kantor DPRD Bantul, Senin (02/3/2020).
Ia mengatakan, penghentian paksa itu dilakukan oleh oknum dari desa.
Alasannya merusak lingkungan.
Permintaan yang disampaikan oleh oknum desa tersebut, penggarapan lahan harus dilakukan dengan cara manual.
Tetapi menurut Arman cara itu jelas tidak mungkin karena akan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Arman justru menduga itu hanya alasan saja. Pasalnya, selain diminta untuk menggarap pertanian secara manual pihaknya juga diminta untuk melakukan perjanjian izin kepada desa.
Padahal diceritakan dia, tanah Sultan Ground yang berada di Selatan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) itu sejak 1948 sudah dikelola turun temurun oleh warga Poncosari.
• Sulap Lahan Pasir Jadi Kebun Bunga, Petani Habiskan Dana Hingga Puluhan Juta Rupiah
Warga disana memanfaatkan Sultan Ground, berdasarkan sosialiasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX waktu itu yang mengatakan
"Lemah kuwi garapen peken premetune ananging ora keno didol". Artinya tanah itu boleh digarap dan hasilnya silahkan dimanfaatkan warga namun tanah tersebut tidak boleh dijual.
Warga Poncosari berpegang aturan disana. Namun selama ini warga pemegang hak pakai dari Sultan itu tidak bisa mengelola pertanian.
"Akhirnya diserahkan kepada kami, sebagai petani penggarap lahan, dengan perjanjian bagi hasil," ucap Arman, yang merupakan warga Banaran, Galur, Kulon Progo.
Arman mengaku menggarap lahan Sultan Ground seluas 8.000 meter persegi sejak tahun 2016.
Tidak ada kontrak hitam diatas putih. Perjanjian saat itu dengan warga Poncosari --pemegang hak pakai Sultan Ground--hanya sebatas bagi hasil.
Selama dikelola dirinya, menurut Arman, lahan yang awalnya kosong itu menjadi lebih produktif.
Ia berhasil menanam berbagai macam tanaman holtikultura.
Mulai dari melon, cabai hingga terong.
Hasilnya pun menurut dia maksimal. Darisana, kemudian banyak warga yang akhirnya meniru untuk bertani.
"Saya sebenarnya datang ke Bantul bukan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi memacu semangat kelompok tani setempat, untuk bertani," ucap dia.
• Bupati Bantul Panen Raya Bawang Merah Biji di Lahan Pasir Pantai Samas
"Setelah sekarang jadi lahan produktif, tetapi mengapa sekarang diklaim jadi tanah kas desa," tanya Arman.
Oleh pemerintah desa, kata dia, lahan yang awalnya Sultan Ground tersebut dipatok dengan patok bertuliskan "Tanah Desa Poncosari".
Ketika akan memanfaatkan lahan tersebut, Arman diminta untuk melakukan perjanjian izin kepada pemerintah desa.
Arman menolak, karena dia merasa sudah melakukan perjanjian dengan warga pemilik hak pakai Sultan Ground.
Tetapi patok bertuliskan tanah kas Desa semakin masif.
Jumlahnya ratusan dan tersebar disepanjang lahan pertanian.
Saat ini, kata dia, patok tersebut sudah dicabut oleh para petani.
Diceritakan, dilahan seluas sekitar 7 hektar itu ada 18 warga pemilik hak pakai Sultan Ground.
Penggarapnya, ada lima orang termasuk Arman dan Maryanto.
Yang membuat dirinya tidak habis pikir.
Dari ke-lima penggarap lahan pertanian Sultan Ground mengapa hanya dirinya yang dipersulit.
Bahkan menghentikan pekerjaannya ditengah jalan tanpa ada pemberitahuan atau sosialisasi terlebih dahulu.
• Sambut Libur Natal dan Tahun Baru, Petani di Bantul Sulap Lahan Pasir jadi Kebun Bunga
"Oknum Desa tidak ada yang melakukan sosialisasi. Tiba-tiba menyetop begitu saja saat kita merapikan tanah," cerita dia.
Senada, Maryanto mengungkapkan, Ia dan Arman bukan diam saja. Dirinya pernah bersama-sama meminta penjelasan langsung kepada Dukuh setempat maupun pihak Desa.
Namun tidak pernah ada Jawaban yang memuaskan.
"Kalau itu memang tanah milik kas desa seharusnya ada peta di Desa. Tetapi kami minta untuk menunjukkan mana saja yang masuk tanah kas desa. Mereka tidak menunjukkan," kata dia.
Maryanto mengaku mengelola pertanian lahan pasir di Poncosari sejak setahun silam. Luasnya sekitar 3.000 meter persegi.
Sama seperti Arman, Maryanto menggarap pertanian lahan pasir di Desa Poncosari dengan perjanjian bagi hasil.
Tidak ada kertas diatas putih.
Belakangan, kata dia, warga pemilik hak pakai dari Sultan Ground di lahan pasir Desa Poncosari tersebut mulai resah karena adanya patok dari desa.
Agar perkara semakin terang, Maryanto bersama Arman, mendatangi Kantor Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) Bantul.
Mereka meminta agar difasilitasi mediasi supaya jelas duduk perkara dan penyelesaiannya, antara warga pemilik hak pakai Sultan Ground, warga penggarap lahan dan Pemerintah Desa.
"Mana Tanah Sultan Ground, mana Tanah Kas Desa. Semuanya dibuka biar jelas. Agar kami bisa menggarap pertanian dengan tenang," kata dia.
Dikonfirmasi terpisah, Lurah Desa Poncosari, Supriyanto membantah adanya pematokan.
Menurut dia di Desa Poncosari tidak ada pematokan di tanah Sultan Ground. Apalagi menjadi tanah kas desa.
"Jika tanah Sultan Ground ya tanah Sultan Ground. Tanah kas desa ya tanah kas desa. Tidak ada pematokan," kata Supriyanto.
Ia juga mengatakan pertanian menggunakan alat berat sudah ada sejak lama di lahan pertanian pasir desanya.
Disinggung mengenai Tanah Kas Desa Poncosari, kata Supriyanto, pihaknya tidak hafal namun jumlahnya ada seluas sekitar 15 hektar dan itu tersebar.
Termasuk yang ada di wilayah pantai Cangkring dan selama ini dimanfaatkan sebagai pertanian dan Wisata.(TRIBUNJOGJA.COM)
