Yogyakarta
Perangi Klitih, Pemda DIY Siap Tingkatkan Peran Lingkungan
Pemda DIY mewacanakan penanganan klitih dengan melibatkan lebih banyak pihak layaknya unsur lingkungan, seperti Ketua RT, RW, maupun lurah.
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Pemerintah Daerah (Pemda) DIY mewacanakan penanganan klitih dengan melibatkan lebih banyak pihak layaknya unsur lingkungan, seperti Ketua RT, RW, maupun lurah.
Rencananya, hal tersebut bakal dipatenkan dalam sebuah produk hukum.
Plt Kepala Disdikpora DIY, Bambang Wisnu Handoyo mengatakan, selama ini yang menjadi kambing hitam setiap terjadi peristiwa klitih hanyalah sekolah tempat pelaku menimba ilmu.
Padahal, ia menilai, lingkungan tempat tinggal juga berpengaruh cukup besar.
• Polres Sleman Bentuk Tim Khusus Kejar Pelaku Klitih
"Ya lurahnya, RW, hingga RT, semua diundang, kita duduk bareng. Nah, ini lurah juga ikut tanggung jawab kalau ada warganya jadi pelaku klitih. Kasih hukuman apa lah, tidak usah diturunkan KTP-nya, atau apa," katanya, saat dikonfirmasi Kamis (30/1/2020).
Bambang mengatakan seandainya lingkungan sudah bertindak, anak pun bakal merasakan efek jera yang lebih besar, dibanding sekadar mendapat hukuman dari kepolisian, maupun sekolah.
Sebab, dampak perilakunya akan merepotkan banyak orang.
"Kalau kampung yang bertindak, lain itu. Tertangkap polisi, tanyakan alamatnya, panggil semua. Biar dia merasa, kalau anak nakal itu merepotkan banyak orang, bukan hanya keluarga," terangnya.
"Tapi, sekarang kan cuma sekolah yang jadi kambing hitam. Ini wacana dari kami. Kalau mau di-Perda-kan, monggo. Saya percaya, Ngarsa Dalem ada kebijakan komperhensif, sehingga nanti akan ditelaah sama beliau, sehingga komplit ya," imbuh Bambang.
• Super Gampang! Tutorial Make Up Khusus untuk Musim Hujan
Ia juga mengatakan, selama ini, apa yang disebut jadi penyebab utama klitih pun terbilang masih mentah dan belum terbukti sepenuhnya.
Seperti pelaku klitih yang berasal dari keluarga kurang harmonis, atau anak yang sejak kecil tidak diasuh orang tuanya.
"Saya kira itu data-data mentah ya, kita belum dalami betul. Jadi, memangg harus ada evaluasi total. Jangan cuma persoalan keluarga, tapi juga lingkungan, total, termasuk sistem pendidikan," tambahnya.
Benar saja, ia mengungkapkan, sistem pembelajaran yang dieterapkan saat ini pun perlu diubah, dengan memberi kesempatan bermain, sekaligus memberi ruang yang lebih luas untuk anak didik, dalam berkreasi, serta menyeimbangkan otak kanan dan kirinya.
• Polda DIY Rumuskan Penanggulangan Klitih melalui FGD
"Tidak semua anak itu gemar dan pintar matematika. Tapi, mereka dipaksa belajar matematika dua, sampai tiga jam dalam satu hari. Makanya, harus ada ruang untuk minat dan bakat mereka," ungkapnya.
Akan tetapi, Bambang menyadari, hal tersebut hanya bisa terealisasi, seandainya undang-undang tentang sistem pendidikan nasional memberikan keleluasaan lebih kepada daerah.
Dalam artian, pemerintah di tingkat provinsi dibiarkan berkreasi sendiri.
"Misalnya DIY diberi ruang 60 persen mengembangkan sistem pendidikan lokal. Jadi, pusat hanya mengatur 40 persennya, untuk hal-hal yang wajib saja. Sehingga, sebagian jadi kreasi daerah untuk mencari sendiri. Ini sangat menarik ya," pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)