Kisah Desa Bahasa Borobudur Magelang Sukses Didatangi Ribuan Warga Lokal dan Mancanegara

Desa Bahasa Borobudur ada di pelosok desa di Parakan, Ngargogondo, Borobudur Magelang.

Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Iwan Al Khasni
Tribunjogja.com | Rendika Ferri Kurniawan
Hani Sutrisno, pendiri Desa Bahasa Borobudur di Parakan, Ngargogondo, Borobudur, Kabupaten Magelang. 

Kisah Desa Bahasa Borobudur Magelang Sukses Didatangi Ribuan Warga Lokal dan Mancanegara

Desa Bahasa Borobudur Magelang Sukses Didatangi Ribuan Warga Lokal dan Mancanegara
Desa Bahasa Borobudur Magelang Sukses Didatangi Ribuan Warga Lokal dan Mancanegara (esa Bahasa Borobudur di Parakan, Ngargogondo, Borobudur, Kabupaten Magelang.)

"One, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten. Two dollars sir," teriak lantang dari seorang bocah kecil menawarkan kartu pos kepada para wisatawan asing yang tengah melancong di Candi Borobudur, Magelang. Dua dolar untuk 10 buah kartu pos. Bocah kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah (MI) itu tak akan berhenti berteriak sampai kartu posnya laku. "One, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten. Two dollars sir".

30 tahun sesudahnya, bocah kecil itu menjelma seorang pengajar dan pegiat pendidikan. Ia mendirikan Desa Bahasa Borobudur, mengajarkan bahasa kepada anak-anak, pemuda, sampai orang-orang tua yang ada di pelosok desa di Parakan, Ngargogondo, Borobudur, Kabupaten Magelang.

Desa Bahasa Borobudur yang kini ramai didatangi ribuan warga lokal sampai mancanegara sebagai salah satu tempat rujukan belajar bahasa Inggris.

Ialah Hani Sutrisno, pria kelahiran Magelang, 4 Agustus 1974, orang di balik Desa Bahasa Borobudur. Hani menceritakan perjalanannya sampai berdirinya Desa Bahasa ini. Sejak kelas dua Madrasah Ibtidaiyah (MI), Hani sudah ditinggal oleh ayahnya. Ayahnya meninggal kala itu, sehingga ia mesti bekerja keras untuk membantu ibunya yang saati itu bekerja sebagai petani.

Ia pun mencari dan memecahi batu di sungai. Hasilnya, ia jual untuk membayar uang sekolah. Setelah SMP, ia beralih dengan mengasong di sekitar Candi Borobudur. Di sana, ia pertama berjualan es jolly. Tak laku, ia beralih menjual cinderamata patung. Terakhir, ia beralih jualan kartu pos yang dihargainya dua dolar untuk 10 lembarnya.

"Saya cari batu di sungai kita pecah. kita jual buat bayar SPP di MI. Sudah SMP, saya berjualan di Borobudur, sebenarnya ibu atau simbok itu tidak boleh,tapi saya merasa kasihan, karena kakak saya yang satu masih sekolah SMP, yang satu SMA. Ibu juga tinggal sendirian, cari nafkah sendiri terlalu berat. Beliau kerja sebagai petani, petani tadah hujan lagi. Saya tidak mau, jadi beban. Saya niatnya ingin membantu ibu saya," ujar Hani, saat ditemui di Desa Bahasa Borobudur.

Waktu Hani mengasong di Borobudur, ia pun berpikir kenapa tidak ada yang menawarkan barang kepada orang asing. Padahal banyak sekali wisatawan asing yang datang. Akhirnya ia pun belajar bahasa.

Pertama, ia kerap mengikuti pemandu wisata di candi. Dari sana, ia belajar perlahan berbagai bahasa. Mulai dari bahasa Inggris, bahkang bahasa Jepang, Prancis. Ia juga tak malu bertanya kepada temannya atau siapapun yang menurutnya lebih tahu.

"Yang saya bisa dulu bahasa Inggris cuma menghitung. One, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten. Two dollar. Sepuluh post card seharga dua dolar. Waktu itu dolar, masih seharga Rp 1.500, sekitar tahun 1986-1987. Saya belinya post card cuma Rp 75 rupiah untuk satu post card. Saya jualan, juga sembari belajar bahasa Jepang, bahasa Prancis, bahasa Inggris. Dari belajar menghitung saja," kenangnya.

Hani Sutrisno, pendiri Desa Bahasa Borobudur di Parakan, Ngargogondo, Borobudur, Kabupaten Magelang.
Hani Sutrisno, pendiri Desa Bahasa Borobudur di Parakan, Ngargogondo, Borobudur, Kabupaten Magelang. (TRIBUNJOGJA.COM / Rendika Ferri)

Beranjak SMA, Hani dikirim untuk mondok di MAN Darul Ulum, Jombang. Selama tiga tahun, ia bersekolah dan mondok di sana. Lulus dari sana, ia kembali pulang dan berjualan lagi.

Namun, terbersit dalam pikirannya, untuk apa sekolah jauh-jauh kalau jadi asongan lagi. Hani pun pamit untuk kursus bahasa Inggris kepada ibunya, tetapi tidak ada biaya.

Niat itu ia urungkan. Ia mesti hijrah ke Bandung dan bekerja di konveksi. Selama empat tahun bekerja di sana, mengumpulkan uang, ia kembali lagi ke Magelang. Hani mencoba belajar bahasa lagi secara otodidak. Sembari belajar, ia juga mengajar anak-anak muda di Dusun Parakan, secara gratis.

"Tahun 1994-1995, saya menjadi guide di Borobudur. Feelance. Akhirnya ketemu dengan Mr Kallen, pendiri BEC dari Kampung Inggris, Pare, Kediri. Ia meminta saya untuk kursus di sana selama enam bulan. Saya pun ikut kursus. Sekembalinya ke sini, saya memanfaatkan ilmu tersebut, dan berbagi dengan masyarakat, dan pemuda di kampung sini," ujarnya.

Awal mula Desa Bahasa Borobudur ini adalah padepokan bahasa. Hani berkeinginan membuat lembaga kursus yang berorientasi ke profit dan ingin mengangkat desannya menjadi desa bahasa.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved