Pembina Pramuka yang Cabuli 15 Anak Didiknya di Surabaya Divonis 12 tahun Penjara dan Kebiri Kimia
Pembina Pramuka yang Cabuli 15 Anak Didiknya di Surabaya Divonis 12 tahun Penjara dan Kebiri Kimia
TRIBUNJOGJA.COM - Pembina pramuka yang mencabuli 15 anak didiknya, Rahmad Santoso Slamet akhirnya divonis hukuman kebiri kimia oleh majelis Hakum Pengadilan Negeri Surabaya.
Rahmat dijatuhi vonis kebiri selama tiga tahun.
Selain vonis hukuman kebiri kimia, Rahmat juga dihukum penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Ketua Majelis Hakim Dwi Purwadi mengatakan, terdakwa sebagai tenaga pendidik terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana tipu muslihat kepada anak didiknya.
"Bahwa perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat, membuat anak trauma, malu dan takut. Perbuatan terdakwa merusak masa depan anak anak," terang Hakim Dwi Purwadi.
• Saldo Rekening Tak Berkurang saat Transaksi di ATM, Oknum Pol PP Ketagihan Tarik Uang Secara Ilegal
Dalam amar putusannya, majelis hakim tidak menemukan alasan pemaaf atau pembenar yang dapat membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum.
Sehingga, kata Dwi, majelis sependapat dengan penuntut umum dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 80 dan Pasal 82 UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentan perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Terdakwa sendiri saat ditanya hakim tentang vonis tersebut mengaku belum memiliki sikap.
"Belum bisa memutuskan menerima atau menolak Pak Hakim," ujarnya.
Vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim ini lebih rendah dari tuntutan jaksa.

Sebelumnya, JPU menuntut Rahmat dengan hukuman kebiri kimia dan 14 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta subsider kurangan tiga bulan.
Tuntutan hukuman tersebut, menurut Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jatim, Asep Mariono, sudah melalui banyak pertimbangan.
"Salah satunya karena pelaku adalah pendidik yang seharusnya mengarahkan dan mengayomi," katanya dikonfirmasi Selasa (5/11/2019) pagi.
Selain itu, perilaku terdakwa kepada murid-murid binaannya dilakukan dalam waktu cukup lama yakni sepanjang 2017 hingga 2019.
Dan yang lebih mengerikan, kata Asep, dari hasil pendampingan psikologis beberapa korban, ada yang terindikasi akan melakukan hal yang serupa atau menjadi pelaku.