Yogyakarta

Dua Masterpiece Kraton Yogyakarta Ditampilkan pada Pameran Sekaten 2019

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, rangkaian Hajad Dalem Sekaten 2019 tidak diikuti dengan pasar malam.

Penulis: Noristera Pawestri | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Hasan Sakri
PAMERAN SEKATEN 2019. GKR Bendara memberikan penejlasan tentang koleksi milik Keraton Yogyakarta yang dipajalang dalam acara soft opening Pameran Sekaten 2019 di komplek Sitihinggil, keraton Yogyakarta, Jumat (1/11/2019). Pameran yang mengambil tema Sri Sultan Hamengku Buwono I tersebut dikemas secara modern yang menampilkan koleksi-koleksi Keraton Yogyakarta yang jarang diperlihatkan dan akan berlangsung hingga 9 November mendatang. 

Tandhu Lawak diusung oleh delapan Abdi Dalem, empat Abdi Dalem berada di depan dan empat Abdi Dalem berada di belakang.

Sementara terdapat satu Abdi Dalem sebagai pembawa payung dan satu Abdi Dalem lainnya sebagai pembawa sapu yang digunakan untuk membersihkan palenggahan Sultan.

"Tandhu Lawak ini masterpiece kami dan tidak bisa dilihat setiap hari. Sebelum Pameran Sekaten (Tandhu Lawak) belum pernah di pamerkan," tuturnya.

Masterpiece lainnya yang turut dipamerkan yakni Babad Ngayogyakarta yang menceritakan sejarah Yogyakarta, dimulai dari pembagian daerah kekuasaan Surakarta sesuai dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755.

Diceritakan pula kilas pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) hingga jatuhnya Keraton Yogyakarta ke tangan Inggris (1812) pada peristiwa Geger Spehi.

Pada kolofon awal babad terdapat informasi penulisan babad pada Jumat Wage, 24 Rabingulakir Be 1744 (12 Maret 1817). 

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa babad ini ditulis pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV.

Setidaknya 25 tahun berselang sejak Surud Dalem, Sri Sultan Hamengku Buwono I (1792).

Anggota Tim Kurator Pameran Sekaten, Sektiadi dari Departemen Arkeologi UGM mengatakan, pameran ini juga menampilkan beberapa naskah yang dibuat pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I.

"Tapi yang dipamerkan lebih pada cerita tentanf beliau (Sri Sultan Hamengku Buwono I) seperti Babad Mangkubumi, Babad Ngayogyakarta dibuat setelahnya (masa Sri Sultan Hamengku Buwono I)  tapi cerita tentang masa Sri Sultan Hamengku Buwono I," ungkap dia.(TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved