Sleman

ABY : Pekerja Tak Punya Kehidupan Layak Jika Pemerintah Tentukan Upah dengan PP No.78 tahun 2015

ABY dorong pemerintah untuk tidak menggunakan PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dalam menentukan UMP dan UMK.

Penulis: Santo Ari | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Suluh Pamungkas
ilustrasi 

TRIBUNJOGJA.COM - Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) dorong pemerintah untuk tidak menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dalam menentukan Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

ABY memperkirakan, jika masih menggunakan PP tersebut, maka kenaikan upah di 2020 hanya berkisar antara 5-6% saja.

Bahkan angka itu lebih rendah dibandingkan kenaikan tahun kemarin yang 8%.

Sekjen ABY, Kirnadi saat diwawancarai Selasa (8/10/2019) mengatakan upah bagi para pekerja di Yogyakarta tak akan layak jika PP No.78/2015 tetap dijadikan pedoman untuk menentukan UMP dan UMK.

Grebek Pasar Isuzu Traga, Lebih Dekat ke Konsumen

Ia mengatakan kenaikan UMP dan UMK dengan pedoman PP no 78 hanya berdasarkan pertimbangan faktor pertumbuhan ekonomi dan inflasi saja.

Angka yang terumuskan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan saat ABY melakukan survey kebutuhan hidup layak (KHL).

Ia menekankan, jika pemerintah masih menggunakan PP lama itu, maka DIY akan tetap dikenal sebagai daerah yang upahnya paling rendah dibandingkan provinsi lain.

Padahal, jika berdasarkan survey, harga kebutuhan pokok sekarang mengalami peningkatan.

Sultan Akan Cermati Rencana Kenaikan Upah

Ia mencontohkan UMK di Sleman di angka Rp 1,7 juta.

Jumlah itu dirasa kurang layak jika dibandingkan survey mereka.

Jika berdasarkan survey, maka UMK di Sleman di angka Rp 2,6 juta.

"Kalau survei kami, Sleman saja bisa sampai Rp 2,6 juta. Itu survei menggunakan standar hidup layak dari 60 item, baik sandang, pangan, dan papan," terangnya Selasa (8/10/2019).

ABY menentukan sikap akan menolak apabila Pemprov DIY dan Pemda kabupaten/kota di DIY masih menggunakan PP tersebut dalam penentuan UMP dan UMK.

Maka dari itu, ke depan pihaknya akan melakukan audiensi ke DPRD DIY dengan mengundang bupati walikota untuk merumuskan bersama tentang pengupahan di DIY.

ABY Desak Kebijakan Upah Minimum Sektoral

Pihaknya juga menyoroti KHL versi pemerintah, yang hanya menyoroti kebutuhan hidup layak seminimal mungkin.

Seperti pada kebutuhan rumah. Ia mengatakan di KHL versi pemerintah tersebut, pekerja hanya dihargai sewa kos per bulannya sebesar Rp 150 sampai Rp200 ribu saja.

"Kalau kondisi kenaikannya seperti ini terus, pekerja tidak bisa menabung untuk masa depan, karena upah kecil sekali. Sangat jauh dari kebutuhan hidup layak di Jogja," ungkap Kirnadi.

Sementara itu secara terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Sleman, Sutiasih mengatakan pihaknya menunggu Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI untuk menentukan UMK di tahun ini.

"Saat ini masih menggunakan PP No.78, nanti ada surat edaran tentang inflasi dan PDRD (Produk Domestik Regional Bruto) yang digunakan dalam menghitung UMK," terangnya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved