7 Poin Penting RUU KPK yang Ditolak Forum Dekan Fakultas Hukum 40 Perguruan Tinggi Muhammadiyah
Forum Dekan Fakultas Hukum (FH) dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) perguruan tinggi Muhammadiyah menolak revisi UU KPK
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL- Forum Dekan Fakultas Hukum (FH) dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) perguruan tinggi Muhammadiyah se-Indonesia menolak terhadap rencana Revisi Undang-undang KPK (RUU KPK).
Sikap resmi tersebut dibacakan oleh Rahmat Muhajir Nugroho M.H didampingi Dr. Trisno Raharjo M.Hum di ruang sidang Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (10/9/2019).
Dikatakan Rahmat, ada tujuh poin penting dalam RUU KPK yang menurutnya berbahaya karena justru berpotensi melemahkan kedudukan KPK.
Ketujuh poin krusial itu antara lain, pertama, kelembagaan KPK sebagai lembaga pemerintah pusat yang bersifat independen sebagaimana diatur pasal 3 menjadi tidak bermakna jika disebut sebagai lembaga pemerintah pusat.
Pengaturan sebaiknya tidak dilakukan perubahan. "Tetap jadikan KPK sebagai lembaga negara yang independen," kata dia.
Poin kedua, kewenangan KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi hanya dibatasi pada kerugian negara paling sedikit Rp 1 Miliar. Ketentuan tersebut dianggap dia dapat menghilangkan kewenangan KPK dalam memeriksa perkara korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.
"Hal ini artinya menjadikan peran serta masyarakat dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi menjadi hilang," terangnya.
Poin ketiga yang menurut dia tidak sesuai, terkait penyadapan harus meminta izin dewan pengawas. Ia menilai keberadaan Dewan Pengawas KPK tidak tepat. Sebab, yang memiliki kewenangan terkait izin dan pelaporan penyadapan adalah pengadilan.
"Munculnya dewan pengawas berpotensi merusak criminal justise system (sistem peradilan pidana) dan mengebiri kewenangan KPK," ujar dia, yang kemudian menilai keberadaan Dewan Pengawas di lembaga KPK sebaiknya dikaji ulang.
Keempat, pembatasan kewenangan KPK yang harus berkoordinasi dengan Jaksa Agung ketika akan melakukan penuntutan. Ketentuan tersebut menurut dia dapat mempengaruhi independensi KPK.
Poin kelima yang dinilai tidak tepat adanya kewenangan KPK menerbitkan surat pemberhentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Selama ini KPK tidak memiliki kewenangan menerbitkan SP3, hal ini dimaksudkan supaya lembaga anti korupsi itu bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya. Menetapkan seseorang menjadi tersangka kemudian memprosesnya hingga dijatuhi hukuman.
"Kewenangan SP3 ini justru membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh KPK dan kemungkinan terjadinya negosiasi perkara," tutur dia.
Poin keenam yang disampaikan Rahmat, perihal pengangkatan penyidik oleh KPK yang diharuskan berasal dari Polri, Kejaksaan, dan PPNS. Kewenangan tersebut dianggap oleh dia menghambat dan menutup kesempatan bagi KPK untuk menjadi lembaga yang mandiri dan kuat.
Poin terakhir yang disampaikan adalah ketentuan peralihan hukum. Menurut Rahmat, RUU KPK tidak menjelaskan Undang-undang mana yang bertentangan dengan Undang-undang KPK. "Sehingga harus dicabut karena hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum," tegas dia.
Sikap menolak terhadap RUU KPK yang disampaikan Forum Dekan Fakultas Hukum dan STIH Perguruan Tinggi Muhammadiyah tersebut rencananya akan ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat resmi ke Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo.