Arti Mubeng Benteng, Tradisi 1 Suro di Yogyakarta yang Sarat Makna

Warga Yogyakarta selalu menggelar tradisi Mubeng Beteng bersama para abdi dalem kraton pada malam 1 Suro setiap tahunnya. Sebuah tradisi sarat makna

Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM / Bramasto Adhy
Prosesi mubeng beteng diawali dari komplek Kraton Yogyakarta, Selasa (11/9/2018). 

Tidak sekedar tradisi, tapi kegiatan tersebut juga dalam rangka mengamankan lingkungan Kraton.

Lantaran saat itu belum ada benteng yang mengitarinya

Kidung Macapat sebagai rangkaian acara Mubeng Beteng di Keben, Keraton Yogyakarta, Selasa (11/09/2018) malam
Kidung Macapat sebagai rangkaian acara Mubeng Beteng di Keben, Keraton Yogyakarta, Selasa (11/09/2018) malam (Tribun Jogja/ Alexander Ermando)

"Mereka berjaga sambil berdoa mohon kedamaian dan keselamatan untuk pemimpin," kata Wijoyo.

Sebagai tradisi, Mubeng Beteng tidak mengalami perubahan sedikitpun sejak pertama kali dilakukan.

Semuanya masih sama, di mana ritual tersebut memutar mulai dari sisi kiri atau barat Kraton.

Arah ini sesuai falsafah Jawa.

Kiri dalam bahasa Jawa berarti Kiwo.

Dalam Tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng, sejumlah abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat membawa klebet (bendera). Jumat (22/9/2017) dini hari.
Dalam Tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng, sejumlah abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat membawa klebet (bendera). Jumat (22/9/2017) dini hari. (tribunjogja/yudha kristiawan)

Menurut Wijoyo, tujuan Mubeng Beteng adalah ngiwake atau membuang hal-hal buruk.

"Selama berjalan mengitari beteng, warga harus dalam posisi Tapa Bisu. Tidak boleh berbicara dan melakukan hal negatif. Fokusnya adalah permohonan pada yang Mahakuasa," papar Wijoyo.

Mengingat tradisi ini masih dianggap sakral dan menarik, tak heran jika ribuan orang rela ikut berjalan kaki.

Sejarah Malam 1 Suro

Nama lain malam 1 Suro adalah malam 1 Muharam dalam penanggalan Hijriyah atau Islam.

Ihwal ini tak terlepas soal penanggalan Jawa dan kalender Hijriah yang memiliki korelasi dekat.

Khususnya sejak zaman Mataram Islam di bawah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645).

Ratusan warga mengikuti ritual Topo Bisu Mubeng Benteng di komplek Keraton Yogyakarta, Sabtu (25/10/2014) dini hari.
Ratusan warga mengikuti ritual Topo Bisu Mubeng Benteng di komplek Keraton Yogyakarta, Sabtu (25/10/2014) dini hari. (Tribun Jogja/Santo Ari)

Penanggalan Hijriyah memang di awali bulan Muharam. Oleh Sultan Agung kemudian dinamai bulan Suro.

Kala itu Sultan Agung berinisiatif mengubah sistem kalender Saka yang merupakan kalender perpaduan Jawa asli dengan Hindu.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved