Arti Mubeng Benteng, Tradisi 1 Suro di Yogyakarta yang Sarat Makna
Warga Yogyakarta selalu menggelar tradisi Mubeng Beteng bersama para abdi dalem kraton pada malam 1 Suro setiap tahunnya. Sebuah tradisi sarat makna
Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
Tidak sekedar tradisi, tapi kegiatan tersebut juga dalam rangka mengamankan lingkungan Kraton.
Lantaran saat itu belum ada benteng yang mengitarinya

"Mereka berjaga sambil berdoa mohon kedamaian dan keselamatan untuk pemimpin," kata Wijoyo.
Sebagai tradisi, Mubeng Beteng tidak mengalami perubahan sedikitpun sejak pertama kali dilakukan.
Semuanya masih sama, di mana ritual tersebut memutar mulai dari sisi kiri atau barat Kraton.
Arah ini sesuai falsafah Jawa.
Kiri dalam bahasa Jawa berarti Kiwo.

Menurut Wijoyo, tujuan Mubeng Beteng adalah ngiwake atau membuang hal-hal buruk.
"Selama berjalan mengitari beteng, warga harus dalam posisi Tapa Bisu. Tidak boleh berbicara dan melakukan hal negatif. Fokusnya adalah permohonan pada yang Mahakuasa," papar Wijoyo.
Mengingat tradisi ini masih dianggap sakral dan menarik, tak heran jika ribuan orang rela ikut berjalan kaki.
Sejarah Malam 1 Suro
Nama lain malam 1 Suro adalah malam 1 Muharam dalam penanggalan Hijriyah atau Islam.
Ihwal ini tak terlepas soal penanggalan Jawa dan kalender Hijriah yang memiliki korelasi dekat.
Khususnya sejak zaman Mataram Islam di bawah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645).

Penanggalan Hijriyah memang di awali bulan Muharam. Oleh Sultan Agung kemudian dinamai bulan Suro.
Kala itu Sultan Agung berinisiatif mengubah sistem kalender Saka yang merupakan kalender perpaduan Jawa asli dengan Hindu.