Yogyakarta
Penyandang Difabel Akibat Gempa Butuh Banyak Adaptasi
Menurutnya, ada empat fase resiliensi yang diperlukan penyandang paraplegia yakni fase stress, fase penerimaan diri dan adaptasi, fase pengembangan di
Penulis: Siti Umaiyah | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dibandingkan dengan difabel yang mengalami disabilitas sejak lahir, difabel pada saat dewasa atau remaja, yang disebabkan gempa bumi membutuhkan banyak adaptasi dengan berbagai kondisinya yang sekarang.
Astri Hanjarwati, Dosen Prodi Sosiologi, Fakultas Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengungkapkan difabel akibat gempa mengalami trauma, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dipecat dari tempat kerja, sulit mendapat pekerjaan, aksesibilitas pendidikan juga mengalami hambatan.
Bahkan, kondisi lebih parah terjadi pada mereka yang cacat akibat cedera tulang belakang (penyandang paraplegia).
• Aksebilitas Difabel ke Dunia Kerja Rendah
"Meski telah 13 tahun berlalu, peristiwa gempa bumi yang melanda DI Yogyakarta masih menyisakan luka dan duka bagi masyarakat Yogyakarta, termasuk yang mengalami disabilitas akibat gempa. Mereka mengalami penurunan motorik dan sensorik gerak tubuh karena cedera sumsum tulang belakang sehingga mengalami kelumpuhan total. Dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sangat bergantung pada kursi roda," ungkapnya dalam disertasinya yang berjudul Resiliensi Penyandang Paraplegia Korban Gempa Bantul tahun 2006.
Dari data Dinas Sosial Kabupaten Bantul 2017 mencatat terdapat 891 orang difabel daksa akibat gempa bumi dengan kondisi yang bervariasi.
Sedangkan enam kecamatan di Bantul dengan jumlah penyandang paraplegia terbanyak, yaitu Piyungan, Bambanglipuro, Jetis, Sewon, Pundong, dan Pleret.
• Sudah 10 Tahun Tak Turun dari Rumah Susun, Pemuda Difabel Berbobot 130 Kg Dievakuasi Petugas
Menurutnya, ada empat fase resiliensi yang diperlukan penyandang paraplegia yakni fase stress, fase penerimaan diri dan adaptasi, fase pengembangan diri, serta fase resilien.
Sedangkan pola adaptasi penyandang paraplegia ada beberapa hal, pertama tergantung pada keluarga, kedua secara mandiri, dan ketiga mandiri serta produktif.
Astri menerangkan menjadi penyandang paraplegia merupakan sebuah risiko yang tidak hanya ditentukan oleh ancaman, kerentanan dan kapasitas, tetapi juga ditentukan oleh respon.
Menurutnya, langkah penyelamatan dengan metode segitiga kehidupan terbukti mampu menyelematkan jiwa dari kematian, namun metode ini mempunyai kelemahan yaitu terluka parah pada bagian tubuh selain kepala.
“Modal sosial merupakan aset penghidupan penyandang paraplegia yang mengalami kenaikan, tetapi modal manusia, modal fisik dan modal keunganan mengalami penurunan," terangnya. (TRIBUNJOGJA.COM)