Warga di Sekitar TPST Piyungan Tuntut Kompensasi Tunai, Ancam Kembali Blokir Akses Masuk
Rumah tempat tinggal Parlan saat ini berjarak sekitar 200 meter dari lokasi pembuangan sampah.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Parlan saat ini berusia 36 tahun. Ia lahir, tinggal dan dibesarkan di Padukuhan Ngablak, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Bantul.
Rumah tempat tinggal Parlan saat ini berjarak sekitar 200 meter dari lokasi pembuangan sampah.
Setiap hari, apalagi di musim kemarau, Ia sudah sangat terbiasa ketika mendapati pelataran rumahnya dipenuhi oleh ceceran sampah.
Sampah itu berasal dari timbunan di TPST Piyungan yang terbang tersapu oleh angin.
Sampah itu terbang kemana-mana. Bukan hanya di pekarangan milik Parlan, namun juga jatuh di pekarangan lain dan sebagian di jalanan kampung.
Belum lagi, polusi debu dan bau sampah yang diakuinya sangat menyengat di hidung.
"Bau menyengat biasanya datang malam. Jam tujuh, jam delapan," tutur Parlan, Rabu (31/7/2019)
Bau menyengat itu sudah dirasakan oleh Parlan, istrinya, kedua anaknya yang masih kecil-kecil dan mayoritas warga Desa selama bertahun-tahun. Bahkan, bau sampah bagi mereka seakan sudah sangat familiar.
Istilah yang dikatakan Parlan, "Bau yang dipaksa untuk terbiasa."
Tuntut Kompensasi Tunai
Kesabaran Parlan dan warga desa setempat mencium bau tak sedap akibat timbunan sampah tampaknya sudah pada titik akhir.
Mereka bersama-sama menutup akses masuk menuju TPST Piyungan, Rabu (31/7/2019) pagi.
Tujuannya, menuntut pemerintah memberikan dana kompensasi tunai bukan dalam bentuk pembangunan kepada warga terdampak.
"Kami adalah korban sampah," tuturnya.
Akibat penutupan, puluhan armada truk dan kendaraan pengangkut sampah dari Kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul tak bisa masuk untuk membuang sampah. Armada dibiarkan mengular di sepanjang jalan masuk.
Penutupan hanya dalam hitungan jam.
Setelah dilakukan mediasi dan ada kesepakatan akan diundang ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi DIY, warga kemudian membuka kembali akses masuk tempat pembuangan.
Parlan mengatakan, bersama warga terdampak pihaknya tetap akan memperjuangkan supaya tuntutan kompensasi tunai bisa terpenuhi.
"Selama ini (kompensasi diberikan) sistem bangunan, lewat desa. Sistem bangunan itu seperti bangun talut pengecoran, mengajukan proposal. Dan apabila tidak mengajukan, ya tidak dapat," terangnya.
"Kami minta kompensasi tunai," imbuh dia.
Kompensasi tunai yang dimaksud oleh Parlan adalah pemberian uang tunai kepada kepala keluarga bagi warga terdampak.
Meliputi RT 03-04 Padukuhan Ngablak, Desa Sitimulyo Piyungan dan RT 06, Desa Bawuran Pleret.
"Jumlahnya sekitar 160-170 kepala keluarga," ujar dia.
Kompensasi tunai itu sebagai ganti rugi imbas dari pencemaran yang diakibatkan dari sampah.
Besarannya menurut Parlan bisa dinegosiasikan bersama pihak terkait.
Ia mengkalkulasi, besaran kompensasi pembangunan yang dikucurkan oleh pemerintah kepada warga, senilai Rp250 juta.
Apabila itu dibagikan kepada warga tanpa melalui proposal. Maka besaran kompensasi tunai yang diterima oleh warga kira-kira sekitar Rp400 ribu - Rp 500 ribu perbulan.
"Bisa untuk bayar air PAM, bayar Listrik," tuturnya.
Ia menuntut supaya ada kejelasan perihal kompensasi tunai.
Apabila tidak ada kepastian, pihaknya mangancam akan kembali menutup akses masuk ke tempat pembuangan sampah.
"Kami minta ada kejelasan. Kepastian. Tuntutan kami bisa diterima apa tidak," ujar dia.
Tampung Tuntutan Warga
Pengawas TPST Piyungan dari DLHK Provinsi DIY, Joko Riyanto, mengatakan telah menampung semua tuntutan yang disampaikan oleh warga.
Pihaknya mengatakan akan segera mendiskusikan tuntutan tersebut kepada pimpinan.
Persoalan TPST Piyungan seakan tak pernah ada ujungnya.
Mengantisipasi supaya kejadian penutupan tidak terulang lagi, Joko mengaku akan meningkatkan kinerja, pro-aktif dan berkomunikasi dengan masyarakat.
"Saling mendukung, saling bahu membahu supaya pelaksanaan untuk pembuangan sampah bisa tertib, bisa lancar. Karena mukanya Jogja ada di persampahan," tutur dia. (*)