Kutipan Prasasti Pucangan yang Berisi Catatan Petaka Besar Mengerikan di Tanah Jawa

Thomas Stanford Raffles pada 1812 menyerahkan prasasti pucangan ini sebagai hadiah ke atasannya, Lord Minto, di Kalkuta, India

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
situsbudaya.id
Prasasti Pucangan 

Catatan Arkeologis Bencana Gempa Dahsyat dan Banjir Bandang yang Menerjang Ibukota Mdang di Wwatan

TRIBUNJOGJA.COM. YOGYA - Satu abad sesudah peristiwa Rukam di Temanggung, pralaya terjadi di tanah jawa khususnya di wilayah kerajaan Mdang di Jawa Timur.

Ceritanya didapat di Prasasti Pucangan yang ditemukan di lereng gunung Penanggungan di Mojokerto. 

Baca : Lumpur Keluar dari Perut Bumi, Menelan Semuanya, Petobo seperti Mau Kiamat

Apa itu Prasasti Pucangan?

Pada tahun 1812, Thomas Stanford Raffles menyerahkan prasasti pucangan ini sebagai hadiah ke atasannya, Lord Minto, di Kalkuta, India. Prasasti ini kemudian juga dikenal sebagai Colcatta Stone atau Batu Kalkuta. 

Nama Pucangan terdapat dalam inskripsi ini, menunjuk nama sebuah tempat yang dijadikan tanah perdikan untuk pertapaan di Desa Pucangan, lereng gunung Penanggungan (Pawitra) di Mojokerto.

Inilah Jejak Gempa dan Tsunami Dahsyat yang Dibangkitkan Zona Megathrust Pantai Selatan Jawa

Isi prasasti ini juga menjelaskan silsilah Airlangga, termasuk dari garis istrinya. Pu Sindok yang pindah dari Pohpitu (Jateng) ke Wwatan (Jatm), memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya, yang kawin dengan Sri Lokapala. 

Pernikahan itu berbuah putra bernama Sri Makuthawangsawardhana. Cucu Pu Sindok ini memiliki putri bernama Gunapriyadarmapatni atau Mahendradatta. Perempuan inilah yang kemudian dinikahi Airlangga, putra Udayana, raja dari Bali.

Foto Gunung Merapi (2.930 mdpl) diabadikan dari Gardu Pandang Tunggularum dan Dusun Gondoarum, Desa Wonokerto, Kec Turi, Sleman, Jumat (1/6/2018) siang dan sore sesudah letusan.
Foto Gunung Merapi (2.930 mdpl) diabadikan dari Gardu Pandang Tunggularum dan Dusun Gondoarum, Desa Wonokerto, Kec Turi, Sleman, Jumat (1/6/2018) siang dan sore sesudah letusan. (Tribun Jogja/ Setya Krisna Sumargo)

Kelak, Airlangga inilah yang mendirikan Kerajaan Kahuripan (1037-1049), setelah terjadi pralaya serangan raja Wurawari dari Lwaram bersamaan terjadinya bencana dahsyat di Jawa. Petaka besar ini menewaskan raja dan para petinggi kerajaan. 

Cerita Gelombang Monster Pantai Selatan dalam Mitos Pertemuan Nyi Roro Kidul - Panembahan Senopati

Berikut dikutipkan bagian isi Prasasti Pucangan (Colcatta Stone) yang menceritakan petaka besar yang menimpa kerajaan Mdang di Wwatan pada waktu itu. Peristiwanya terjadi pada tahun 938 Saka atau 1016 Masehi. 

"pralaya rin yawadwipa i rikan sakakala 939 ri pralaya haji Wurawari maso mijil sanke lwaram ekarnawa rapanikan sayawadwipa rilankala, akweh sira wwan mahawisesa pjah karuhun samanankana dwasa sri maharaja dewata pjah lumah rin san hyan dharma parhyangan i wwatan rin citramasa sakakala 939 skan wala."

Terjemahan umum menurut Agus Santosa di buku Arjunawiwaha adalah sebagai berikut. "pralaya atau petaka di tanah Jawa terjadi tahun 938 Saka karena serangan raja Wurawari yang datang menyerbu dari Lwaram, seluruh pulau Jawa tampak bagaikan lautan (susu). Banyak orang penting gugur, khususnya juga waktu itu sri maharaja gugur dan dimakamkam di candi suci di Wwatan pada bulan Caitra tahun 938 Saka."

Ada dua nama penting di prasasti ini, yaitu Lwaram dan Wwatan. Belum ada kesepakatan tunggal tentang di mana letak Lwaram dan Wwatan ini. Namun pendapat umum menyebut Lwaram ini pusat kerajaan Wurawari yang dulunya berlokasi di Cepu (Blora). 

Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (TRIBUNJOGJA.com | DWI NOURMA HANDITO)

Ada sebuah desa bernama Ngloram di Cepu, yang kerap dikaitkan dengan Lwaram Wurawari, kerajaan vasal dari Sriwijaya. Selanjutnya Wwatan diyakini sebuah lokasi di Maospati (Madiun) atau Wotan di daerah Ponorogo. 

Ketika pralaya terjadi yang menewaskan raja Dharmawangsa Teguh, Airlangga menyelamatkan diri ke puncak Wanagiri. Diduga kuat ini salah satu lokasi di puncak pegunungan Wonogiri sekarang, dekat perbatasan Ponorogo.

Dari inskripsi itu selain serangan bersenjata dari Wurawari, disebutkan istilah "ekarnawa" atau "arnawa". Dalam khasanah tafsir Sanskerta, kata ini bisa ditafsirkan sebagai banjir besar, air yang menggenang, seperti lautan susu (putih).

Atau bisa ditafsirkan seeperti lautan susu (Prof CC Berg), atau dalam mitologi Hindu ditafsirkan lautan susu diaduk para dewa. Sedangkan ahli sejarah Labberton (1922) mengartikan "ekarnawa" sebagai gemuruh aliran banjir atau gelombang pasang di laut.

Dari deretan tafsir atas kata "ekarnawa" itulah diyakini mahapralaya serangan Wurawari ke Wwatan bersamaan dengan bencana alam dahsyat banjir bandang atau tsunami. Airlangga menyaksikan daratan Jawa dari puncak ketinggian di pengungsian jadi hamparan putih. 

Di mana lokasinya, para penulis dan ahli sejarah menyakini gelombang air itu datang dari arah (pesisir) selatan. Pasukan Wurawari setelah menghancurkan Wwatan, langsung mundur ke Lwaram. 

Mitos yang muncul, mereka mundur karena melihat datangnya bantuan dari penguasa laut di selatan. Namun, melihat jauhnya Wwatan dari pesisir selatan, tidak mungkin gelombang tsunami ini sampai ke pusat kerajaan Mdang. 

Karenanya gempa bumi dahsyat yang mengawali kabar datangnya gelombang laut dari selatan menciutkan nyali pasukan Wurawari dan membuat mereka menarik mundur ke tempat asal mereka di utara. 

Empat tahun sesudah mahapralaya di Wwatan ini, atau sekitar tahun 1020 Masehi, gunung Merapi meletus dahsyat dengan skala letusan mencapai VEI 4 (Newhall, 1998). Namun belum ditemukan catatan tertulis tentang peristiwa ini mengingat pusat kekuasan Mdang sudah pindah ke Jatim. 

Beberapa abad kemudian cerita tentang bencana hebat gempa dan letusan gunung Merapi muncul dalam Babad Tanah Jawi. Cerita itu muncul saat Sultan Pajang hendak menyerbu ke Kotagede, yang didirikan anak didiknya, Sutawijaya.

Arca Ganesha raksasa yang ditemukan di Sambirejo, Prambanan pada Rabu(15/8/2018) kemarin.
Arca Ganesha raksasa yang ditemukan di Sambirejo, Prambanan pada Rabu(15/8/2018) kemarin. (Tribun Jogja/ Setya Krisna Sumargo)

Ketika pasukan besarnya sampai di Prambanan, dan tinggal berhadapan dengan pengikut Sutawijaya, tiba-tiba gunung Merapi meletus, menyemburkan api pijar dan banjir lahar yang menciutkan nyali Sultan Hadiwijoyo.

Pasukan Pajang dan Sultan Hadiwijaya akhirnya mundur dan menjadi penanda berakhirnya Kasultanan Pajang, dan tonggal awal berdirinya kerajaan Mataram baru di Kotagede (Alas Mentaok). 

Demikianlah, sebagian kecil data dan catatan sejarah yang menunjukkan berbagai bencana alam dahsyat, gempa bumi, banjir, tsunami yang mengoyak Pulau Jawa khususnya, dan mengisyaratkan kejadian serupa di kepulauan Nusantara. 

Setelah gempa besar Lombok bulan lalu, kini mahapralaya terjadi di Donggala dan Palu. Para geolog Universitas Colorado dan Universitas Montana pada pertengahan November 2017, telah memperingatkan kemungkinan gempa-gempa besar di daerah khatulistiwa sepanjang 2018 ini.

Gempa besar itu menurut Roger Bilham (Colorado) dan Rebecca Bendick (Montana) dipengaruhi melambatnya rotasi bumi. Data tertulis gempa-gempa besar menunjukkan indikasi, ketika rotasi bumi melambat, diikuti peningkatan intensitas gempa besar. 

Pelambatan itu diukur menggunakan jam atom, terjadi periodik selama lima tahun sekali. Pelambatan rotasi itu disebabkan perubahan perilaku inti bumi. Indonesia sudah mengalami dua gempa dahsyat plus tsunami hanya dalam rentang dua bulan terakhir. 

Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari kepada Tribunjogja.com 2018 lalu mengatakan bawha ia tak meremehkan tesis tentang kaitan pelambatan rotasi bumi dan gempa besar di khatulistiwa.

"Saya sedang melihatnya sebagai hal yang sama. Saya khawatir itu mempengaruhi kegempaan, khususnya di sekitar khatulistiwa," kata geolog perminyakan yang populer di jagat maya dengan panggilan Pakde ini.

Sebagai bagian "Pacific Ring of Fire", sebagian besar daratan dan kepulauan di Nusantara hanya menunggu giliran siapa akan diguncang gempa dan disapu tsunami. Potensi bencana yang secara alamiah terjadi sejak berjuta tahun lalu. (Tribunjogja.com/xna)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved