Bantul

Belum Ada Listrik, Petani Bantul Usir Ulat Grayak Pakai Irigasi Kabut 

Irigasi kabut ini awalnya digunakan untuk mengendalikan suhu dan kelembapan tanaman bawang merah.

Penulis: Amalia Nurul F | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Amalia Nurul
Sumarno menggunakan irigasi kabut untuk mengusir ulat grayak pada tanaman bawang lahan pasir miliknya, Kamis (4/7/2019) pagi. 

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Sempat terkena hama ulat grayak belum lama ini, kini tanaman bawang merah milik Sumarno di Desa Srigading, Sanden, Bantul sudah tidak ada lagi.

Sumarno memanfaatkan sistem irigasi kabut untuk mengusir hama.

Ditemui Tribunjogja.com di lahan tanaman bawang merah miliknya di kawasan JJLS, Kamis (4/7/2019) pagi, Sumarno tampak tengah mengatur pompa untuk mengoperasikan irigasi kabut inovasinya.

"Sudah mendingan ini, saya pakai irigasi kabut," kata Sumarno.

Ini 8 Alasan Memilih TVS Ntorq 125 untuk Berkendara

Irigasi kabut ini awalnya digunakan untuk mengendalikan suhu dan kelembapan tanaman bawang merah.

Namun ternyata setelah dikembangkan bisa digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit yang ramah lingkungan.

"Karena tidak harus membunuh hama. Hama cukup diusir saja," kata Sumarno.

Katanya, air dari irigasi kabut yang menempel di daun membuat ngengat tidak mau bertelur, sehingga tidak membutuhkan pestisida.

"Tidak harus pakai pestisida kimia. Efektif untuk mengusir ulat grayak," katanya.

Kutu daun yang menyebabkan virus kuning juga dapat dikendalikan dengan irigasi kabut ini.

"Pengendalian virus kuning juga bisa, asalnya kan dari kutu daun, ketika kutu kena kabut ini akan tidak kerasan dan pergi," paparnya.

Ulat Grayak Serang Tanaman Bawang Merah di Bantul, DPPKP Turunkan Regu Pemberantas Hama

Terbukti inovasi ramah lingkungan, Sumarno mendapat penghargaan juara pertama kategori perintis lingkungan Seleksi Kalpataru DIY tahun 2018 BLH DIY.

"Saya juga tidak menyangka, karena saya merasa tidak ikut kompetisi apa pun," ungkap warga Soge, Srigading, Sanden ini.

Sumarno menjelaskan cara kerja irigasi kabut ini, yakni dengan mengalirkan air dari sumber air ke selang karet yang diberi lubang mikro.

"Dari sumber air, dialirkan ke lahan dengan didorong pakai pompa melalui saluran primer lalu ke selang karet dengan lubang mikro," jelasnya.

Dengan panjang selang 100 meter ketinggian airnya pun sama pada masing-masing lubang mikro.

Ketinggian air tergantung pada tekanan pompanya dan dapat menjangkau seluruh tanaman bawang merah di lahannya.

Sumarno mengaku, sistem ini dapat menghemat air 40-60 persen.

Bahan bakar yang dibutuhkan untuk pompa air sekali siram lahan 3.500 meter persegi yakni 3 liter pertalite.

Tanaman Bawang Merah di Srigading Bantul Diserang Hama Ulat Grayak, Petani Merugi Jutaan Rupiah

Namun biaya tersebut bisa lebih murah jika menggunakan listrik.

"Akan lebih murah kalau memakai listrik PLN. Hanya butuh Rp4000," ungkapnya.

Jika menggunakan listrik, pompa dapat diatur menggunakan sensor suhu dan kelembapan.

"Pompa listrik PLN bisa diatur dengan sensor. Ketika cukup lembap bisa mati sendiri. Kalau yang ini masih kira-kira, tapi tetap bisa menghemat waktu bisa ditinggal mengerjakan pekerjaan lainnya," kata Sumarno yang mengembangkan irigasi kabut sejak 2013 silam.

Sayangnya, kata Sumarno, hingga saat ini ia belum mendapat tanggapan lebih lanjut dari PLN untuk pemasangan listrik.

Ia mengaku sudah berkali-kali mengajukan permohonan memasang listrik untuk mengoperasikan pompa dan sensor otomatis.

"Sudah mengajukan dan sudah dengan syarat lengkap tapi belum ada kelanjutannya. Pernah ada yang survei kemari tapi tidak turun dari mobil," ungkapnya.

Kemarau, Distan DIY Minta Petani Ubah Pola Tanam

Ia berharap segera ada tanggapan dari PLN agar irigasi kabutnya dapat beroperasi optimal dan hemat biaya.

Terlebih para petani lainnya juga sudah mulai menggunakan irigasi kabut inovasinya.

"Ada sekitar 15 petani yang pakai irigasi kabut ini," katanya.

Ia mengatakan, untuk membuat irigasi kabut ini dibutuhkan biaya yang terjangkau.

"Untuk lahan 1000 meter, tidak sampai Rp5 juta. Nilai ekonomisnya bisa tahan 5 tahun. Apalagi pakai listrik PLN bisa lebih hemat," tuturnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pertanian Pangan Kelautan dan Perikanan (DPPKP) Bantul, Pulung Haryadi mengatakan, ulat grayak memiliki siklus.

"Karena tidak terputus siklus ulat bawang itu. Karena banyak yang menanam di luar musim. Kalau tidak serempak menanam itu berbahaya. Maka barus bareng," katanya.

Lanjutnya, perlu ada pemutus siklus yakni dengan rekayasa komoditas.

"Bawang juga harus ada pemutusnya supaya dalam 1-3 bulan tidak muncul ulat. Jadi memberi jeda tidak menanam bawang selama satu musim," pungkasnya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved