Kisah Pertemuan Korban Gempa Jogja Asal Bantul Setelah Terpisah Selama 13 Tahun

pertemuan anggota keluarga asal Bantul itu berawal laporan dari seseorang bernama Agustinus Tri ke Polsek Jogonalan

Editor: Iwan Al Khasni
Dokumentasi Humas Polsek Jogonalan
Anggota Polsek Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah mempertemukan anggota keluarga yang telah 13 tahun terpisah di Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (15/6/2019) 

Kepolisian Sektor (Polsek) Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah, mempertemukan anggota keluarga yang telah 13 tahun terpisah karena gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Anggota keluarga itu adalah Agustinus Tri dengan Juminten.

Keduanya dipertemukan anggota Polsek Jogonalan di Jalan Raya Yogyakarta-Solo, tepatnya di Dukuh Karangdukuh, Kecamatan Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (15/6/2019) sekitar pukul 12.30.

Kapolsek Jogonalan Iptu Rizky membenarkan anggotanya mempertemukan keluarga yang sudah 13 tahun terpisah.

"Benar, anggota kami mempertemukan keluarga yang sudah 13 tahun terpisah," kata Rizky saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (16/6/2019).

Dia menceritakan, pertemuan anggota keluarga asal Bantul itu berawal laporan dari seseorang bernama Agustinus Tri ke Polsek Jogonalan pada Sabtu siang.

Laporan itu diterima dua anggotanya yang sedang melaksanakan piket siang, Aiptu Yuli dan Bripka Muh Dwi Habsoro.

"Bapak Agustinus memberitahukan kepada petugas saat dirinya melakukan perjalanan ke arah Kota Klaten melihat seorang wanita berusia 60 tahun berjalan kaki sendirian ke
arah timur.

Menurut pengamatan Bapak Agustinus, wanita itu merupakan salah satu anggota keluarganya," ujarnya.

Setelah mendengar penjelasan itu, lanjut dia, anggotanya bersama pihak keluarga mendatangi lokasi di mana sosok wanita yang diketahui merupakan anggota keluarganya itu
dilihat.

Setelah tiba di lokasi, Aiptu Yuli dan Bripka Habsoro bersama perwakilan keluarga menghampiri Juminten untuk mengajak berbicara.

"Awal mulanya ibu (Juminten) menolak dan berusaha menghindari petugas. Petugas kami berusaha memenangkan dan menjelaskan akhirnya ibu itu tenang. Bapak Agus yang
melihat muka ibu itu langsung memeluk dan membenarkan ibu itu anggota keluarganya," kata Rizky.

Kemudian, petugas Polsek Jogonalan bersama keluarga membawa Juminten ke RS Soedjarwadi Klaten untuk mendapatkan perawatan.

Kisah Sujiman Selamat dari Gempa Jogja 2006

Sujiman bersama istrinya, Rubinem dan keluarganya tinggal di Protobayan, Desa Srihardono, Pundong. Pedukuhan di sebelah Tenggara Bumi Projotamansari ini menjadi episentrum gempa besar mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 13 tahun silam.

Sabtu Wage, 27 Mei 2006

Tetenger atau monumen yang menjadi episentrum gempa bumi di kampung Protobayan Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Bantul.
Tetenger atau monumen yang menjadi episentrum gempa bumi di kampung Protobayan Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Bantul. (Tribunjogja.com | Ahmad Syarifuddin)

Sujiman dan istirnya Rubinem, telah terbangun dari peraduannya. Sejak pukul empat dini hari, mereka telah sibuk didapur menyiapkan aneka masakan. Sujiman pagi itu telah selesai menanak nasi dan bubur.

Ibu Rubinem memasak sayuran. Pasangan keluarga ini dikenal sebagai penjual nasi dan bubur serta masakan dikampung Protobayan.

Nasi, bubur dan nampan yang berisi masakan sayur telah siap. Satu persatu dibawa dari dapur menuju depan rumah Sujiman untuk dijajakan. Kala itu, belum genap pukul enam pagi, ketika tiba-tiba Bumi di protobayan berguncang hebat.

Dalam hitungan detik. "Rumah saya ambruk. Semua dinding dan gentengnya runtuh," kata Sujiman, menceritakan.

Beruntung, Sujiman dan istrinya, Rubinem selamat dari tragedi pagi buta itu.

"Kedua anak saya juga selamat. Cucu saya bernama Desti Novita Sari, patah pada kaki kanannya. Karena keruntuhan tembok," tuturnya.

Saat itu, Sujiman belum tahu persis apa yang terjadi. Ia menyaksikan detik itu kampung Protobayan berubah mencekam. Tidak ada kokok ayam pagi. Listrik padam. Ia melihat semua rumah tetangganya ambruk.

"Sepanjang sungai opak, di kampung Protobayan ini tidak ada rumah yang berdiri. Semuanya ambruk," kenang dia.

Sujiman melihat semua anggota keluarganya selamat. Ia bersyukur. Yang pertama ia lakukan adalah menyelamatkan cucunya, Desti--yang saat itu masih kelas dua SD--dari reruntuhan tembok.

"Ketika tubuh cucu saya angkat. Kaki kanannya kiwir-kiwir, [patah]," terang Sujiman.

Di antara rasa kalut dan panik. Ia segera membawa cucunya itu ke pengobatan alternatif sangkal putung. Penyembuhan patah tulang.

Namun tak sanggup. Sujiman lantas melarikan ke Rumah sakit Bethesda.

"Di Rumah sakit disarankan untuk dioperasi. Akhirnya saya bawa ke PKU Bantul. Dioperasi disana," cerita Sujiman.

Hari-hari pasca tragedi gempa, menjadi hari yang paling berat.

Sujiman beserta anggota keluarganya, dan warga terdampak lainnya tinggal di barak pengungsian. Barak ini terletak di gudang bekas kayu di kampung Protobayan.

Sujiman masih ingat betul. pasca gempa. Sabtu malam hujan turun dengan lebatnya. "Saya dan keluarga bernaung dibawah tenda, di barak pengungsian,"

Berkumpul bersama para korban lainnya, Sujiman mendengar informasi di kampungnya, Protobayan, ada sembilan orang meninggal dunia dan langsung dikebumikan hari itu juga secara bersamaan.

Hampir semua warga kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Perekonomian warga lumpuh.

Bahan makanan sulit didapatkan. Semua gotong-royong supaya bisa bertahan.

"Ada yang punya lembu. Terkena runtuhan rumah. Dan kelihatannya mau mati. Kita potong. Dagingnya kita masak bersama-sama,"

.

.
SELENGKAPNYA >>> https://jogja.tribunnews.com/2019/05/27/kisah-sujiman-selamat-dari-gempa-jogja-2006-hari-ini-13-tahun-lalu-tak-ada-kokok-ayam-pagi-hari?page=all

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved