204 Tahun Letusan Tambora
204 Tahun Letusan Tambora : Pusat Kerajaan Lumat Ditelan Lautan, 3 Lainnya Terkubur Materi Vulkanik
Muntahan gunung Tambora menyapu dan memusnahkan keempatnya. Tersisa Kerajaan Sumbawa dan Kerajaan Bima, meski menderita berat sesudahnya
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Demikian pula di peristiwa letusan Krakatau, karya sastra Muhammad Saleh yang dikenal dengan sebutan “Syair Lampung Karam”, mengaitkan peristiwa itu dengan tulah terhadap kolonialis Belanda yang menguasai Masjid Agung Kutaraja.
Letusan akbar Gunung Krakatau pada 1883 menurut AB Lapian juga sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi, budaya dan politik di Lampung dan Banten.
Di Lampung, Telukbetung dan distrik Semangka terputus. Kekuasaan kolonialis Belanda juga terputus dan tak berdaya mengatasi keadaan sesudah Krakatau mengamuk.
Jejak Peradaban dalam Peringatan 200 Tahun Letusan Gunung Tambora
Di Banten, bandar ramai di Anyer hancur, dan dipindahkan ke Cilegon yang bertahan hingga sekarang. Kehancuran hebat diderita Lampung dan Bengkulu, tapi Anyer lah yang paling hebat.
Pemberontakan petani –lebih tepatnya pemberontakan social-- di Banten selatan merupakan dampak ikutan kegersangan dan kesulitan ekonomi sesudah erupsi dan tsunami hebat di Selat Sunda.
Fanatisme keagamaan akibat frustrasi sosial juga turut mempengaruhi lahirnya gerakan tersebut, yang akhirnya bisa ditumpas menggunakan tangan besi.
“Bencana seperti letusan Tambora dan Krakatau menyadarkan manusia betapa kecilnya mereka, tak berdaya di tengah kegaiban jagat yang mampu menggerakkan kekuatan raksasa yang sangat katastrofal,” tulis AB Lapian.
Situasi itu dimanfaatkan orang-orang tertentu untuk membakar sentiment. Dunia yang hancur itu diyakinkan sebagai pertanda kimat akan datang.
Di situlah “Manifesto Banten” muncul sebagai pendorong aksi pemberontakan selanjutnya, yang terjadi kurang dari setahun sesudah gunung Krakatau meledak.
Ditemukan Tulang Prajurit Pada Perang Besar Saat Tambora Meletus
Ahli sejarah terkenal Prof Dr Sartono Kartodirjo menguraikan secara jernih episode itu dalam disertasinya yang dibukukan menjadi “Pemberontakan Petani Banten 1888”.
Penggalan kisah menarik diuraikan AB Lapian, seperti dua peristiwa yang agak parallel. Jika debu vulkanik Krakatau menyebar jauh ke berbagai pulau dan wilayah, pelaku pemberontakan Banten yang dipadamkan, juga disebar ke banyak tempat.
Total ada 94 pelaku hidup yang kemudian menerima hukuman pengasingan. Ada 19 dibawa ke Padang, 8 ke Manado dan Banda. Tujuh orang ke Kupang, 6 ke Gorontalo dan Ambon.
Lima orang ke Bengkulu, masing-masing 4 orang ke Tondano, Kema, Ternate, Muntok dan Fort de Kock di Bukittinggi.
Tiga orang ke Saparua, 2 ke Selayar, Maros, Bantaeng, dan Pariaman. Masing-masing satu orang ke Pacitan, Balanipa, Payakumbuh dan Padangsidempuan.
Para “petempur” yang berusaha melawan kolonialis itu ditebarkan ke segala penjuru Nusantara, seperti sebaran debu vulkanik gunung Krakatau yang meledak tiga atau empat tahun sebelumnya. (Tribunjogja.com/xna)