Menelusuri Jejak Pu Kumbhayoni

Prasasti Pereng Kuak Tabir Siapa Penguasa Watak Walaing di Bukit Ratu Boko

Tak banyak ahli sejarah kuna berhasil menguak latar belakang dan kisah figur ini. Sementara jejak peninggalan Kumbhayoni berserakan

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Tribun Jogja/Setya Krisna S
Ratu Boko 

Prasasti Pereng yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna, secara lugas menyebut nama Pu Kumbhayoni sebagai Rakai Walaing. Rakai adalah sebutan jamak pemimpin wilayah atau watak, setingkat kecamatan untuk saat sekarang.

Watak atau kerakaian ini terdiri wanua-wanua atau desa-desa. Rakai atau pemimpin watak ini menguasai dan mengontrol wanua-wanua, yang juga memiliki struktur tersendiri di wilayahnya. Wanua ini menjadi tumpuan kehidupan masyarakat masa kuna Mataram.

Membaca isi Prasasti Pereng, Tres Sekar Prinanjani menilai, penggunaan dua bahasa dalam satu prasasti ini bukannya tanpa maksud. Bahasa Sanskerta adalah bahasa yang memiliki kerumitan yang hanya dikuasai orang-orang berpengetahuan tinggi.

Karena itu menurutnya pembuat dan yang menyuruh membuat prasasti ini tentu bukan tokoh sembarangan. “Kelebihan Kumbhayoni ini dia menguasai bahasa Sanskerta dan menggunakannya untuk mengokohkan posisi sebagai keturunan raja (dewa),” kata Tres Sekar.

Teks Prasasti Pereng yang cukup panjang dan masih bisa terbaca sangat baik dalam aksara Jawi Kuna, diawali untaian kalimat doa atau mantera dalam bahasa Sanskerta. Pembacaan pertamanya dilakukan pada 1917 oleh ahli sejarah kuna, Johan Hendrik Caspar Kern (1833).

Hendrik Kern yang dilahirkan di Purworejo ini dikenal sebagai orientalis terkemuka berdarah Belanda. Ia menguasai bahasa Sanskerta, sudah membaca, menerjemahkan, dan mengintrepretasikan banyak prasasti dari masa Mataram Kuna.

Kutipan berikut merupakan bagian kedua isi prasasti Pereng dalam bahasa Jawa Kuna. Diambil dari hasil pembacaan ahli bahasa kuna Indonesia, Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka (Agastya di Nusantara, Obor Indonesia, 1992).

Swasti caka warsatita 784 maghamasa cuklapaksa tretiya somawara tatkala rake walaing pu kumbhayoni puyut sang ratu I halu pakwianira I jangluran maweh sawah I wukiran tampah alih I tamwahurang ngaran nikanang sawah dmak carna sang hyang winaya.

PRASASTI PERENG jadi koleksi khusus di Museum Nasional Jakarta. Prasasti ini ditemukan di Dusun Pereng, Desa Sumberwatu, Prambanan, Klaten pada awal abad 19. Masih sangat bagus kondisinya, isinya menceritakan siapa tokoh Pu Kumbhayoni yang misterius. INZET: Detail Prasasti Pereng atau Wukiran beraksara Jawa Kuna.
PRASASTI PERENG jadi koleksi khusus di Museum Nasional Jakarta. Prasasti ini ditemukan di Dusun Pereng, Desa Sumberwatu, Prambanan, Klaten pada awal abad 19. Masih sangat bagus kondisinya, isinya menceritakan siapa tokoh Pu Kumbhayoni yang misterius. INZET: Detail Prasasti Pereng atau Wukiran beraksara Jawa Kuna. (TRIBUNJOGJA.com | Setya Krisna Sumarga)

Terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia, pada tanggal 3 Suklapaksa bulan Magha 784 Ç, Rakai Walaing Pu Kumbhayoni, cicit Sang Ratu Halu memberikan sebidang sawah di Wukiran seluas dua tampah di Tamwahurang untuk persembahan bagi Sang Hyang Winaya.

Angka tahun 784 Caka dikonversikan ke tahun Masehi menjadi 862 Masehi. Inilah tahun pembuatan Prasasti Pereng, yang artinya terjadi 6 (enam) tahun sesudah Rakai Pikatan turun tahta (856 Masehi), dan Rakai Kayuwangi membuat Prasasti Sivagrha (Siwagraha).

Prasasti ini mendeskripsikan bangunan yang identik dengan Candi Siwa di gugusan Candi Prambanan sekarang. Kisah hubungan Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, dan sosok yang diduga kuat Pu Kumbhayoni, tersurat dan tersirat dalam prasasti ini.

Dilihat dari angka tahun pembuatan Prasasti Pereng (862 M) dan tahun turun tahtanya Rakai Pikatan pada 856 Masehi, Pu Kumbhayoni masih eksis dan memiliki wilayah sendiri yang kuat ketika Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala memimpin Medang di Mamratipura.

Ratu Boko
Ratu Boko (Tribun Jogja/Setya Krisna S)

Pusat kekuasaan Pu Kumbhayoni menurut sejarawan De Casparis, ada di puncak perbukitan Ratu Boko. Kompleks yang dikenal sebagai Keraton Ratu Boko itu sudah ada sejak bertahun-tahun sebelumnya, dikenal sebagai biara kaum Buddha.(Tribunjogja.com/xna)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved