Menelusuri Jejak Pu Kumbhayoni

Kisah Perang Sengit Kumbhayoni vs Rakai Pikatan Berebut Tahta di Era Mataram Kuno

Syahdan pernah terjadi perang saudara sengit di masa Mataram Kuno. Rakai Pikatan yang berkuasa menghadapi pemberontakan saudara mudanya, Balaputradewa

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
tribun jogja/hamim thohari
Candi Barong 

Menelusuri Jejak Pu Kumbhayoni, Tokoh Misterius di Puncak Kejayaan Medang (2)

Perang Kumbhayoni Versus Rakai Pikatan, Dyah Lokapala Muncul Sebagai Pahlawan

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Lama jadi pengetahuan sejarah, syahdan pernah terjadi perang saudara sengit di masa Mataram Kuno. Rakai Pikatan yang berkuasa menghadapi pemberontakan saudara mudanya, Balaputradewa.

Perang memperebutkan tahta, yang akhirnya dimenangkan Rakai Pikatan. Di mana posisi Pu Kumbhayoni? Benarkah Balaputradewa ini ada dan turut berperang? Betulkah Kumbhayoni itu yang dimaksud Balaputradewa?

Baca artikel sebelumnya :

Prasasti Pereng Kuak Tabir Siapa Penguasa Watak Walaing di Bukit Ratu Boko

Prasasti Siwagraha (856 Masehi) memulai kontroversi ini lewat intrepretasi ahli sejarah kuna JG de Casparis. Teori serupa sejak awal dikembangkan pula oleh sejarawan NJ Krom, yang menguraikan riwayat raja Samaratungga yang ia identikkan dengan Samaragriwa.

Nah, prasasti Wantil atau Siwagraha yang dibuat masa Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, penerus Rakai Pikatan, menyebutkan peristiwa peperangan melawan musuh yang membangun kubu batu di sebuah bukit.

Sejumlah pakar, terutama De Casparis menafsirkan orang yang angkat senjata melawan Rakai Pikatan adalah Balaputradewa. Prasasti Wantil memang mencantumkan kata “walaputra”, yang kemudian diintrepretasikan sebagai Balaputradewa, putra Samaratungga.

Mungkin Kamu Belum Tahu, Inilah Nama Sejumlah Kampung di Jogja yang Tertulis di Prasasti Salimar

Jika ia putra Samaratungga, maka tokoh ini saudara Pramodhawardani, istri Rakai Pikatan. Begitulah penafsiran De Casparis, yang mempengaruhi catatan sejarah nasional selama bertahun-tahun.

Perang akhirnya dimenangkan Rakai Pikatan lewat putra bungsunya. Dyah Lokapala yang saat itu menjabat Rakai Kayuwangi muncul sebagai pahlawan. Kubu batu yang disebut dibuat di sebuah bukit, diduga kuat yang kini dikenal sebagai Kraton Ratu Boko.

Misteri Candi-candi yang Saling Membelakangi, Mungkinkah Ini Petunjuk Ibukota Mataram Kuno?

Klaim Balaputradewa pernah berkonflik dengan Rakai Pikatan pada akhirnya ditolak para ahli sejarah kuna Indonesia. Bantahan antara lain datang dari Prof Dr Slamet Mulyana dan Dr Boechari.

Keduanya sepakat tidak menemukan jejak Balaputradewa di kasus perang saudara yang diceritakan ini. Slamet Mulyana menjelaskan, Samaratungga dan Samaragriwa adalah dua sosok berbeda.

Kisah di Balik Penemuan The Lost Ganesha dan Lenyapnya Kampung Gepolo di Prambanan

Berdasar prasasti Kayumwungan (824 Masehi), Samaratungga dari klan Syailendra, hanya memiliki seorang anak, yaitu Pramodawardhani. Samaragriwa lebih tua dan kemungkinan kuat justru ayah Samaratungga.

Jika Balaputradewa adalah anak Samaragriwa, artinya ia bersaudara dengan Samaratungga, dan atau tepatnya paman Pramodhawardani. Karena pengganti Samaragriwa adalah Samaratungga, maka Balaputra tidak memiliki kans lagi untuk bertahta.

The Lost Ganesha Terjungkal saat Longsor Tahun 1955

Akhirnya Balaputradewa meninggalkan Jawa, kembali ke tempat asal ayahnya, bertahta di Sriwijaya, jauh sebelum peperangan yang dimaksud di prasasti Wantil. Karena itu teori De Casparis dan NJ Krom dianggap gugur.

Prasasti Kumbhayoni
Prasasti Kumbhayoni (TRIBUNJOGJA.com | Setya Krisna Sumarga)

Lantas apa dan siapa yang dimaksud “walaputra” yang ditulis di prasasti Siwagraha? Slamet Mulyana dan Boechari menyebut istilah itu memiliki makna “putra bungsu”, yang kemudian diintrepretasikan menunjuk Dyah Lokapala (Rakai Kayuwangi).

Boechari menyatakan, jejak Balaputradewa sama sekali tidak ditemukan di deretan prasasti yang ditemukan di Ratu Boko, komplek perkubuan batu yang disebut dalam prasasti Siwagraha.

Berderet nama yang muncul justru Cri Kumbhaja, Kumbhayoni, dan Kaladsobhava. Karena itu Boechari mencurigai tokoh yang mengangkat senjata melawan Rakai Pikatan adalah Pu Kumbhayoni.

Ada sekurangnya empat prasasti batu yang ditemukan di komplek Ratu Boko yang menunjuk sosok itu. Yaitu prasasti Krtikavasalingga, Tryambakalingga, Haralingga, dan prasasti Kumbhayoni.

BUKTI SEJARAH - Inilah prasasti-prasasti istimewa temuan di situs Keraton Ratu Boko yang menyebut nama Cri Kumbhaya, Cri Kumbhayoni, dan Kaladsobhava yang menunjuk ke satu figur. Prasasti yg hanya bernomer dalam kondisi hancur dan sulit dibaca. Kerusakan ini diduga kuat akibat disengaja semasa perang saudara antara Rakai Pikatan dan Pu Kumbhayoni. Dalam gambar merupakan Prasasti Haralingga dan Praasasti Tryamvakalingga
BUKTI SEJARAH - Inilah prasasti-prasasti istimewa temuan di situs Keraton Ratu Boko yang menyebut nama Cri Kumbhaya, Cri Kumbhayoni, dan Kaladsobhava yang menunjuk ke satu figur. Prasasti yg hanya bernomer dalam kondisi hancur dan sulit dibaca. Kerusakan ini diduga kuat akibat disengaja semasa perang saudara antara Rakai Pikatan dan Pu Kumbhayoni. Dalam gambar merupakan Prasasti Haralingga dan Praasasti Tryamvakalingga (TRIBUNJOGJA.com | Setya Krisna Sumarga)

Tiga prasasti pertama berangka tahun sama, 778 Caka (856 Masehi), menyebutkan pendirian tiga lingga oleh Cri Kumbhaja dan Kaladsobhawa. Sedangkan prasasti keempat tidak diketahui angka tahunnya dan tidak bisa dibaca lengkap.

Prasasti ini menyebut nama Cri Kumbhayoni dalam bahasa Sanskerta dan beraksara Jawa Kuna. Ada lagi tiga prasasti batu bernomer BG 530, BG 531, dan BG 532 yang kondisinya pecah-pecah dan tidak bisa dibaca sempurna.

Prasasti berkode BG 530, BG 531 dan BG 532
Prasasti berkode BG 530, BG 531 dan BG 532 (TRIBUNJOGJA.com | Setya Krisna Sumarga)

Diyakini sejumlah kalangan sejarah, ketiga prasasti ini berhubungan dengan sosok Pu Kumbhayoni. Kehancuran prasasti-prasasti ini terjadi karena kesengajaan, dan diduga kuat berlangsung saat terjadi perang seperti diceritakan di prasasti Siwagraha.

Pasukan Dyah Lokapala, putra bungsu Rakai Pikatan, berhasil menggempur kubu Pu Kumbhayoni di bukit Ratu Boko. Wilayah itu diduduki dan diikuti penghancuran segala tanda yang pernah dibuat tokoh yang memberontak itu.

Epigraf senior Dr Riboet Darmosoetopo mengaku sulit menjelaskan sosok Pu Kumbhayoni ini dan riwayat peperangan di sekitar Prambanan masa Rakai Pikatan dan Dyah Lokapala. “Tidak banyak data sejarahnya untuk memastikan,” kata pembaca prasasti Salimar ini.

Prasasti Siwagraha tidak secara rinci menjelaskan, kemenangan Dyah Lokapala atas musuhnya itu apakah juga berarti kematian pemimpin pemberontaknya? Jika tafsirnya adalah kemunculan Prasasti Pereng pada 862 Masehi, maka jawabannya tidak.

Pu Kumbhayoni masih hidup hingga seetidaknya enam tahun sesudah berakhirnya perang. Ia masih bisa memerintahkan pembuatan prasasti penting, yang meninggalkan pesan lain glorifikasi kemenangan perang kelompoknya.

Candi Barong
Candi Barong (TRIBUNJOGJA.com | Hamim Tohari)

Kemenangan itu ditandai lewat pembangunan bangunan suci yang disebut Bhadraloka. Kelak bangunan itu dikenal sebagai Candi Barong, atau nama lamanya Candi Sari Sorogedug. Lokasinya di sebelah timur bukit Ratu Boko.(Tribunjogja.com/xna)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved