Yogyakarta

Sikapi Berita Hoaks dengan Kematangan Berpikir

Jarang sekali ada perdebatan yang lebih penting terkait dengan isu pemerintahan, keadilan, maupun lingkungan.

Penulis: Siti Umaiyah | Editor: Ari Nugroho
istimewa
Research Centre for Politik and Government (Pol GOV), Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM bekerjasama dengan Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menyelenggarakan sarasehan kebangsaan dengan tema Mengelola Kabar Bohong Distorsi Informasi dalam Politik Elektoral di Selasar Barat Fisipol UGM pada Rabu (13/3/2019) 

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Research Centre for Politik and Government (Pol GOV), Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM bekerjasama dengan Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menyelenggarakan sarasehan kebangsaan dengan tema Mengelola Kabar Bohong Distorsi Informasi dalam Politik Elektoral di Selasar Barat Fisipol UGM pada Rabu (13/3/2019)

Kegiatan ini sendiri diselenggarakan dengan tujuan mengajak semua lapisan masyarakat untuk melawan hoax dan ujaran kebencian yang kerap kali meresahkan dan mengganggu persatuan bangsa.

Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium MAFINDO menjelaskan jika penyebaran hoax saat ini sudah sangat memprihatikan. Dia menjelaskan jika menjelang pemilu, sebaran hoax ini semakin bertambah.

Baca: Website Resmi Caleg dan Capres Bisa Minimalisir Berita Hoax

"Jika kita mengambil contoh dari kasus Rohingya, maupun kasus di India, Srilangka, problem hoax sudah level menghancurkan level kemanusiaan. Kalau di Indonesia bagaimana, sepanjang 2016, kita menemukan sebanyak 997 hoax, dan 40-50% berasal dari Facebook, dan yang lainnya dari Twitter, dan media sosial lainnya," ungkapnya.

Dia menjelaskan jika hoax ini mampu merusak nasionalisme, isu-isu yang didebatkan pun kebanyakan pada hal-hal yang remeh temeh.

Jarang sekali ada perdebatan yang lebih penting terkait dengan isu pemerintahan, keadilan, maupun lingkungan.

"Ada hal yang tidak penting dibicarakan, tapi menjadi headline. Ini jelas merusak kualitas demokrasi kita. Isu lingkungan, keadilan, itu jauh lebih penting tapi tidak banyak dibicarakan di media sosial. Kita lebih banyak berurusan dengan hal yang remeh temeh," ungkapnya.

Lebih lanjut dia menerangkan jika isu hoax ini sebenarnya sudah ada sejak pemilu 2014 lalu, dimana isu-isu mengenai pemilu yang pernah ada dimunculkan kembali pada saat ini.

Baca: Laskar Harokah Islamiyah Dukung Pemilu Damai dan Tolak Hoax

Masalah utama yang terjadi adalah, siapapun nantinya akan terpilih dalam pemilu, masyarakat tidak akan benar-benar yakin, dan yang paling ditakutkan dari hal tersebut adalah kerukunan antar sesama bangsa bisa terkikis

"Siapa yang akan terpilih, masyarakat tidak akan percaya. Masalah terbesar adalah kerukunan kita, pemilu hanya lima tahun sekali, sedangkan bagaimana dengan persatuan kita. Hoax politik bisa menjadikan sesuatu hal menjadi konflik. Hingga masyarakat saling berselisih sampai di dunia nyata gara-gara hoax," ungkapnya.

Erwan Agus Purwanto, Dekan Fisipol UGM menjelaskan jika berbicara mengenai hoax hal tersebut berkenaan dengan sesuatu yang tidak benar adanya.

Erwan menuturkan jika ketika hoax ini bisa merusak demokrasi, terutama ketika dikaitkan dengan pemilu yang akan dilaksanakan serentak pada 17 April 2019 mendatang.

Baca: BPPTKG Himbau Masyarakat Tidak Termakan Hoax Soal Aktivitas Merapi

Berkaca pada dulu sebelum tahun 1998, dimana kebebasan pendapat sangat dibatasi, hal tersebut sangatlah tidak nyaman.

Namun saat ini, ketika kebebasan pendapat sudah ada, terdapat permasalahan yakni berkaitan dengan hoax.

"Kebebasan berbicara hari-hari ini agak membahayakan. Ada distorsi, dimana hoax berkembang dimana-mana. Semestinya setelah ada kebebasan berpendapat, demokrasi bisa benar-benar berkualitas. Jangan sampai demokrasi rusak gara-gara adanya hoax ini," ungkapnya

Sementara itu, Mgr Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Semarang menerangkan jika dilihat dari perspektif agama, ada beberapa kata kunci yang bisa digunakan untuk menyikapi hoax.

Antara lain beriman, cerdas dan bijaksana.

Baca: Menko Luhut Ajak Anak Muda Jangan Percaya Berita Hoax

Tiga hal tersebut menjadikan seseorang bisa memiliki kematangan untuk bisa mengelola apa yang diterimanya dengan baik, dan dia akan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

"Jika dilihat dari perspektif agama, bagaimana menyikapi berita bohong, saya akan ajak rekan ke kata kunci, yakni beriman, cerdas dan bijaksana. Beriman artinya memiliki kematangan rohani, seseorang tidak hanya punya agama, tapi punya iman, ini dia akan bisa membedakan antara yang baik dan tidak. Cerdas dalam artian media berarti melek dan kritis, artinya tidak mudah terpengaruh. Bijaksana disini dia bisa mempertimbangkan apa yang diterimanya dengan baik," terangnya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved