Tsunami Banten dan Lampung, Erupsi Anak Krakatau, Banyak Korban Termasuk Personil Band Seventen
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika merilis peristiwa tsunami di Pantai Barat Provinsi Banten
Laporan awal tanda akan meletusnya Krakatau muncul pada Mei 1883. Getaran-getaran konstan dirasakan seorang kontrolir perkebunan Belanda di Katimbang (Lampung), kemudian dilaporkan ke Residen Lampung sebelum diteruskan ke Batavia.
Laporan-laporan berikutnya makin deras, datang dari kapten-kapten kapal dagang maupun militer dari Jerman, AS, Inggris, Belanda yang melintas di Selat Sunda. Laporan itu seragam, mendeskripsikan segala keanehan tentang gunung di tengah selat sibuk itu.
Pada hari letusan pendahulu, ada cukup banyak laporan dari kapal-kapal laut yang melintas dalam jarak cukup dekat. Ada yang merasakan gelembung kuat yang mampu menjungkirkan kapal. Ada juga kesaksian langsung semburan material dari tengah laut, membubung tinggi ke angkasa.
Laporan itu berasal dari awak kapal Zeeland yang tengah berlayar membawa kiriman pos dari Batavia tujuan Holland. Kapten Mackenzie, pemimpin pelayaran, tercengang menyaksikan kolom asap hitam raksasa.
Asap itu naik cepat ke angkasa berseling kilat yang menyambar-nyambar. Bunyi gelegar letusan tak henti-hentinya datang dari arah gunung. Udara menjadi sangat gelap, pekat, menyesakkan dada. Di Batavia, drama tak kalah mengerikan berlangsung.
Baca: Hasil Lengkap Sidang Komdis PSSI 19 Desember, Hukum Krisna Adi, PS Mojokerto Putra, PSIM vs PS Tira
Getaran akibat gempa berlangsung terus menerus, membuat warga penghuni kota kolonial itu ketakutan, tanpa tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada Minggu pagi hingga siang itu. Kabar meletusnya Krakatau belum sampai ke kota itu, kecuali kalangan sangat terbatas.
Kisah dramatis lain diceritakan Simon Winchester dalam bukunya ini, tentang aksi nekat Residen Lampung yang berlayar mendekat gunung yang sedang mengamuk. Menggunakan kapal mesin, Mr Altheer meninggalkan Teluk Betung begitu mendengar kabar ganjil dari Rajabasa.
Ketika ia tiba di rumah kontrolir Mr Willem Beyerinck di Katimbang, sekelompok nelayan tengah melaporkan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di pulau-pulau dekat Krakatau beberapa jam sebelumnya.
Mereka saat itu sedang menyeberang dari Katimbang, ke Pulau Sebesi mencari kayu. Tiba-tiba para nelayan itu mendengar ledakan dan bumi yang dipijaknya bergeletar. Mereka mengira ledakan itu tembakan meriam kapal Belanda.
Namun ketika mereka berlari ke pantai, mereka menyaksikan api berkobar di puncak Perboewatan di gugusan gunung Krakatau. Abu bercampur lava pijar terlontar berkesiur memenuhi udara. Para nelayan itu kabur dan melapor ke kontrolir di Katimbang.
Tak percaya dengan laporan nelayan, Mr Altheer dan Mr Beyerinck melesat ke perahu dan melaju ke Pulau Sebuku dan Sebesi. Perahu mereka menerabas lautan batu apung yang sudah memenuhi perairan.
Setelah empat jam melaju, kedua orang Belanda ini menyaksikan pantai Krakatau memang benar- benar berubah jadi api. Dalam pandangan mereka, puncak Perboewatan sedang bersiap meledak. Mereka belum tahu sepenuhnya, dalam beberapa pekan berikutnya, petaka dahsyat akan terjadi.
Setelah memberi isyarat dengan letusan pendahuluan yang luuar biasa, Krakatau kembali tenang. Gempa berkurang, letusan mereda, dan di periode itu sejumlah ahli Belanda melihat dari dekat kondisi gunung.
Pada Minggu pagi, 26 Agustus 1883, hampir semua penduduk lokal maupun kolonial di Anyer, Batavia, Katimbang hingga Telukbetung menunjukkan kegelisahan yang mendalam. Mereka menunggu apa yang terjadi di tengah Selat Sunda.
Kejang-kejang dan sekaratnya Krakatau berlangsung persis 20 jam 56 menit pada 26-27 Agustus 1883. Ada empat letusan besar mendahului salvo pamungkas Krakatau pada Senin, 27 Agustus 1883 pukul 10.02.