Temuan Fosil di Situs Semedo Tegal
Situs Semedo Menyimpan Harta Karun Tegal Masa Purba
Temuan-temuan fosil fauna menggambarkan panjangnya rentang kehidupan di Semedo. Juga menunjukkan kompleksitas persebaran fauna besar
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - DAKRI identik dengan Semedo. Sosok sederhana yang gemar mengenakan baret merah itu memang penting dalam proses menjulangnya situs purba di Kabupaten Tegal ini ke pentas dunia.
Dialah figur yang jadi penggerak penyelamatan fosil flora, fauna, artefak litik, dan bahkan penemu spesimen atap tengkorak hominid yang mencengangkan para ahli prasejarah.
Bersama Dakri, juga eksis sosok-sosok penyelamat fosil Semedo seperti Duman, Sunardi, dan Ansori. Semuanya penduduk Semedo, Kedungbanteng, Tegal.
Menurut Dr Harry Widianto, pakar paleoantropologi Indonesia, Situs Purba Semedo mencuri perhatian peneliti sejak 2005. Daerah ini menjadi situs purba terkini yang ditemukan.
Empat Temuan Menakjubkan di Situs Purba Semedo Tegal, Salah Satunya Fosil Geraham Kingkong
Letaknya di jajaran pegunungan Serayu Utara, sekitar 15 kilometer sebelah timur Slawi, ibukota Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Hasil penelitian berkesinambungan para ahli paleontologi, arkeologi, geologi, antropologi, menunjukkan Situs Purba Semedo memberikan data faktual evolusi manusia, budaya dan lingkungannya sejak setidaknya 1,5 juta tahun yang lalu.
Temuan-temuan fosil fauna menggambarkan panjangnya rentang kehidupan di Semedo. Juga menunjukkan kompleksitas persebaran fauna besar, yang jarang ditemukan di bagian lain Jawa.

Morfologi Semedo saat ini berupa perbukitan bergelombang di wilayah Tegal, dengan luas kawasan kehidupan sekurangnya 3x3 kilometer.
Temuan spesimen hominid pada 2011 membuka pandangan, homo erectus Jawa mengembangkan jelajahnya hingga ujung barat Jawa Tengah, dari pusat kerajaannya di Sangiran.
Secara fisiografi, daerah Semedo merupakan batas jajaran pegunungan Serayu Utara dan jajaran pegunungan Bogor. Kedua wilayah ini dulunya terpisahkan oleh lautan.
Gerakan geosinklinal Pulau Jawa bagian utara mengangkat Semedo, yang setelah Kala Plestosen Bawah (sekitar 1,8 juta tahun), tertutup endapan vulkanik.

Kemungkinan bersama Cijulang, Prupuk, Bumiayu, dan Ajibarang, Semedo menjadi batas Pulau Jawa bagian timur pada akhir Kala Plestosen.
Jateng dan Jabar sebagian berada di bawah permukaan laut sekitar 2,4 juta tahun lalu. Sementara Jawa Barat jadi bagian Pulau Jawa yang sudah muncul di permukaan laut.
Meski belum banyak temuan fosil purba dari daerah di sebelah barat Semedo itu, Bumiayu sempat mengejutkan.
Fosil fauna Mastodon (Proboscidea) yang kemudian dikenal dengan nama Sinomastodon Bumiayuensis, ditemukan di tepi sebuah sungai di Bumiayu pada 1932 oleh Van den Maarel.
Dari penelitian Siswanto dan Sofwan Noerwidi (2014), keberadaan Mastodon di daerah Semedo dan Bumiayu menunjukkan masa yang sangat tua dalam biostratigrafi fauna di Jawa.

Fauna ini hanya hadir pada kurun Fauna Satir, yaitu rentang masa 2 juta-1,5 juta tahun lalu. Setelah itu tidak muncul lagi, karena kemungkinan punah.
"Semedo mengindikasikan sebagai situs prasejarah kuarter tertua di Jawa," kata Sofwan Noerwidi merujuk papernya yang dipublikasikan empat tahun lalu.
Temuan fosil di Semedo terbilang sudah sangat banyak. Sebagian telah diinventarisir dan diteliti ahli-ahli dari Puslit Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Yogyakarta, dan BPSMP Sangiran.
Sebagian besar merupakan temuan permukaan oleh warga, yang kemungkinan juga telah tertransportasi dari lokasi asalnya.
Umumnya tingkat fosilisasi sudah sempurna dengan mineral silika yang telah menggantikan unsur organik fragmen tulang dan tengkoraknya.

Temuan-temuan penting itu meliputi fosil Stegodon, Mastodon, Bovidae seperti kerbau, banteng, sapi. Juga ada badak, babi, rusa, dan kuda air (kuda nil), dan Elephas Sp alias gajah purba.
Fosil binatang laut dan sungai juga sangat banyak. Pecahan koral sangat mudah ditemukan di permukaan tanah. Kerang dan keong umumnya ada di endapan lempung di bawah permukaan.
Fosil gigi hiu juga ditemukan, mengindikasikan kehadiran predator laut di perairan Semedo. Sedangkan fauna sungai ada fosil rahang dan gigi geligi buaya.
Khusus mengenai mata rantai gajah, Semedo memberi jawaban sangat menarik. Jika gajah Sumatra sekarang (Elephas Maximus Sumatraensis) dicari akar leluhurnya, semua ada di Semedo.
Di daerah ini, tiga spesies pendahulu gajah Sumatra pernah hadir sejak sekurangnya 1,5 juta tahun lalu. Dimulai Mastodon (1,5 juta tahun), Stegodon (0,8 juta tahun), dan Elephas sp (0,4 juta tahun).
Ketiga gajah purba itu bermunculan tanpa terputus, hidup berdampingan dengan fauna lain, bahkan manusia purba homo erectus.
Baca: Menelusuri Lorong Lava Terpanjang di Bawah Tanah Kipuka Kanohina
Kejutan terbaru Semedo, peneliti berhasil mengidentifikasi dua temuan spesimen mandibula (rahang berikut giginya) sebagai Gigantopitchus pada 2016.
Kedua spesimen mandibula ini ditemukan 2014, dan tiga peneliti purba Sofwan Noerwidi, Siswanto dan Harry Widianto menyebutkan spesimen itu milik primata besar.
Sederhananya makhluk ini seperti Kingkong, karena ukuran rahangnya dua kali lipat dari primata umumnya.
Tidak banyak temuan sejenis, kecuali satu di Cina yang saat ditemukan jadi koleksi sebuah toko obat, dan satu lagi di Afrika.(Tribunjogja.com/xna)