Yogyakarta

Terkait Kasus Dugaan Kekerasan Seksual, Rektor UGM: Keduanya Dapat Pelajaran

Dalam rekomendasi tersebut sudah disampaikan 3 hal terkait penyintas, terduga pelaku, dan bagi UGM sendiri.

Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Ari Nugroho
Tribun Jogja/ Alexander Ermando
Rektor UGM Panut Mulyono saat ditemui di Gedung Pusat UGM, Jumat (22/06/2018) 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Rektor UGM Prof Ir Panut Mulyono, M Eng DEng mengatakan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Agni, pihaknya menjalankan sesuai rekomendasi yang diberikan oleh tim investigasi.

Dalam rekomendasi tersebut sudah disampaikan 3 hal terkait penyintas, terduga pelaku, dan bagi UGM sendiri.

"Kemarin kan sudah ada hasil rekomendasi dari tim investigasi. Tim tersebut dari dosen UGM sendiri. Ya kami mengimplementasikan itu, masih kami jalankan, tetapi belum selesai," katanya Kamis (8/11/2018).

"Ketika nanti misalnya dari rekomendasi itu dirasa belum memenuhi keadilan, kalau mau ke ranah hukum, ya kita ikuti. Namun tentu atas kesadaran dari semua pihak, tentu saja juga dari penyintas," sambungnya.

Baca: Fisipol UGM Dukung Penyelesaian Kasus Dugaan Pelecehan

Ia mengungkapkan sudah ada rapat terkait penyelesaian melalui ranah hukum.

Pihaknya pun sudah menawarkan pihak ketiga untuk mendampingi penyintas.

Meski demikian perlu ada pertimbangan yang matang. 

"Ini masalah anak kita sendiri to, masa penyelesaian ke ranah hukum. Sejak awal UGM berkeyakinan bisa menyelesaikan kasus ini dengan menjunjung tinggi nilai dan prinsip akademis. Prinsip keadilan memang harus dijunjung tinggi, tetapi juga disisi lain tidak menghancurkan," ungkapnya.

Dalam menyelesaikan kasus Agni, ia ingin menyelesaikan dengan cara-cara yang mendidik.

Menurutnya penyintas memang perlu diberi keadilan yang seadil-adilnya dan kesalahan yang dilakukan terduga pelaku juga perlu diberi sanksi yang setimpal.

Meski demikian ia ingin penyelesaian kasus tersebut dapat memberi pelajaran bagi keduanya.

Baca: Rifka Annisa : Mahasiswa UGM Korban Kekerasan Seksual Sempat Alami Depresi

"Bagi penyintas kami menyampaikan simpati yang tinggi dan sangat dalam. Dan harus diberikan keadilan yang seadil-adilnya. Karena keduanya anak kami, kami ingin selesaikan dengan pola-pola yang mendidik. Agar keduanya dapat pelajaran tetapi tidak ada yang dihancurkan," ujarnya.

"Kesalahan bisa diberikan sanksi yang setimpal. Tetapi anak muda ini bisa dibangun kembali karakternya, supaya bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Kami berkeyakinan bisa menyelesaikan masalah ini dengan pola pendidikan yang nanti baik ke depannya," sambungnya.

Disinggung soal sanksi terduga pelaku, ia mengatakan wisuda masih ditunda 1 semester.

Penundaan wisuda tersebut juga sesuai dengan rekomendasi yang dibuat oleh tim investigasi.

"Jadi dia tidak akan diwisuda besok. Sesuai rekomendasi dari tim, kelulusan yang bersangkutan ditunda sampai satu semester kedepan. Itu yang diputuskan kemarin. Saya melihat secara komprehensif," tutupnya.

Ombudsman Angkat Bicara

Anggota Ombudsman RI, Dr.Ninik Rahayu, S.H.,M.S menilai penanganan pelecehan seksual di UGM seperti kasus pencurian permen. Menurutnya, pelecehan seksual bukan persoalan yang sederhana, sehingga tidak bisa hanya diselesaikan secara kekeluargaan.

"Ini kasus pelecehan seksual, terjadi kejahatan pada tubuh perempuan. tetapi seoalh-olah ini dianggap biasa, dianggap tidak ada unsur tindak pidana. Ini bukan pencurian permen atau roti, yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan," katanya saat ditemui awak media di kantor Ombudsman RI Perwakilan DIY, Sabtu (10/11/2018).

"Kejadian sudah sangat lama, Ombudsman merasa penting untuk mendalami kasus ini. Karena ini menyangkut sistem pendidikan kita. Terkait dengan masa depan anak kita yang dititipkan di UGM dan perguruan tinggi lainnya," sambungnya.

Ninik mengatakan rekomendasi yang sudah diberikan oleh tim investigasi juga tidak dilakukan dengan baik oleh Rektorat UGM.

Hal itu dibuktikan dengan masuknya terduga dalam daftar wisuda November 2018.

Selain kurang baik dalam menjalankan rekomendasi, ia juga menilai UGM terkesan menutu-nutupi kasus pelecehan seksual tersebut.

Menurutnya UGM juga melakukan pembiaran pada penyintas, sehingga penyintas harus berjuang dan mencari jalan keluar sendiri.

"Ini sebenarnya kasus sudah lama, tetapi baru sekarang hangat diperbincangkan. Ini terjadi karena reportase dari Balairung. Pihak rektorat juga tidak menjalankan rekomendasi dengan baik, buktinya pelaku terdafar akan wisuda november. UGM juga terkesan menutupi kasus ini, karena ya mungkin mempertaruhkan namanya," ujarnya.

Jika hal tersebut dilakukan, lanjutnya akan terjadi keberulangan.

Hal itu karena pelaku merasa yang dilakukan bukan hal besar, dan tidak dihukum sebagaimana mestinya.

"Tentu bisa jadi keberulangan, pelaku mikir oh ini tidak apa-apa, tidak ada sanksinya. kalau sekarang tidak ditangani dengan baik, bisa jadi pelaku melakukan hal serupa," lanjutnya.

Ninik pun ingin mahasiswa dan dosen UGM mendapat pembekalan terkait kasus kekersan, baik itu keamanan hingga seksual.

Menurutnya pelecehan tersebut terjadi karena minimnya pembekalan yang dilakukan.

Tidak hanya kecewa pada pihak UGM, Ninik juga menyayangkan sikap aparat penegak hukum yang diam saja setelah mengetahui kasus peleceahn tersebut.

Menurutnya aparat bisa langsung bergerak cepat.

"Sangat menyayangkan pihak aparat kepolisian tidak bertindak. Sudah ramai sekali diperbincangkan kok tidak berbuat apa-apa. Ini kan bukan delik aduan, ini delik umum," ujarnya.

Pihaknya melalui Ombudsmans perwakilan DIY akan melakukan investigas secara cepat. Ombudsman pun akan segera memanggil pihak terkait.

Sementara itu, Dosen Hak Asasi Manusia dan Kewarganegaraan Fisipol UGM, Pipin Jamson yang turut hadir mengatakan ada sekitar 1.600 dukungan yang diberikan berupa tandatangan saat aksi yang digelar oleh gerakan #KitaAgni, Kamis (8/11/2018) lalu.

Ia meminta UGM untuk menyatakan bahwa pelecehan dalam bentuk apapun dinyatakan sebagai pelanggaran berat.

Menurutnya jika belum ada peraturan tertulis terkait pelanggaran etika tersebut, akan mempersulit Agni.

"Kami menuntut kepada UGM untuk menyatakan pelecehan dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran berat. karena belum ada aturan tertulis kekerasan seksual termasuk dalam pelanggaran berat. Ini tentu akan mempersulit Agni untuk memperjuangkan haknya. Tanpa ada pernyataan tertulis, pelaku bisa lepas," katanya.

Perwakilan mahasiswi UGM yang hadir, Nadine mengatakan bahwa saat ini yang diinginkan Agni adalah ketegasan hukuman dari pihak UGM.

Menurutnya penyintas juga berhak untuk mengetahui sejauh mana proses penyelesaian kasusnya secara trasnparan.

"Melalui komunikasi dengan penyintas, penyintas ingin agar ada tindakan tegas dari UGM terlebih dahulu, yaitu Drop Out dan juga memberikan catatan buruk pada pelaku. Lalu juga memberikan sanksi bagi civitas UGM yang menyudutkan penyintas," katanya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved