Kulon Progo

Festival Kembul Sewu Dulur Pererat Persaudaraan Warga Pendoworejo

Agenda yang mendapat dukungan dari Dinas Pariwisata DIY ini digelar sebagai penanda Rebo Pungkasan atau Rabu terakhir Bulan Sapar dalam kalender Jawa.

Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Ari Nugroho
IST
Suasana dhahar kembul dan ritual ngguyang jaran dalam Festival Kembul Sewu Dulur di Bendung Kayangan, Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo, Rabu (7/11/2018). 

TRIBUNJOGJA.COM, KULON PROGO - Festival Kembul Sewu Dulur kembali digelar masyarakat desa Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo, Rabu (7/11/2018) di Bendung Kayangan.

Agenda yang mendapat dukungan dari Dinas Pariwisata DIY ini digelar sebagai penanda Rebo Pungkasan atau Rabu terakhir Bulan Sapar dalam kalender Jawa.

Sesepuh Desa Pendoworejo, Odho Sumarto (76) mengatakan dulunya tradisi Kembul Sewu Dulur hanya diikuti masyarakat setempat saja berupa kenduri.

Pada perkembangannya, acara itu dikemas dengan balutan tradisi dengan adanya kirab kesenian hingga ritual ngguyang jaran (memandikan kuda lumping).

Tak hanya itu, masyarakat dari luar Pendoworejo kemudian juga ikut bergabung meramaikan acara yang menjadi ajang mempererat persaudaraan tersebut.

Baca: Sebelum Mubeng Beteng, Abdi Dalem Gelar Macapatan dan Dhahar Kembul

"Ritual ngguyang jaran menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan, pawang kuda Prabu Brawijaya yang juga leluhur warga di sini,"kata Odho.

Cerita di kalangan warga setempat, Mbah Bei adalah sosok yang menginisiasi pembangunan bendung di sungai Kayangan sebelum masa penjajahan.

Tepatnya di bawah titik pertemuan dua alur sungai, Kledung dan Ngiwo.

Bendungan tersebut telah membuat ladang dan sawah milik warga produktif kendati musim kemarau.

Pada suatu waktu di hari Rabu, Mbah Bei tidak tampak hadir kenduri, dan konon disebut telah moksa (meninggal) dan bersemayam di kayangan (surga).

Dari situ lah tempat ini kemudian bernama Bendung Kayangan dan kenduri Rebo Pungkasan itu tetap dilaksanakan sampai sekarang untuk melestarikan jasa Mbah Bei.

Ngguyang jaran sekaligus juga menjadi simbol pembersihan diri para warga setelah lepas dari Bulan Sapar.

Dhahar kembul atau kenduri dan santap bersama menjadi pemungkas rangkaian acara.

Santap bersama ini menjadi bentuk pemersatu warga untuk memperat persaudaraan.

"Sekaligus, ungkapan rasa syukur warga atas karunia Tuhan berupa kemakmuran dan ketentraman,"kata Odho.

Baca: Festival Kembul Sewu Dulur, Rajutan Persaudaraan dari Tepi Sungai Kayangan

Kepala Seksi Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW) Dinas Pariwisata DIY, Wardoyo mengatakan pihaknya mendorong dan mendukung penuh pengembangan budaya di Pendoworejo ini sebagai nilai adat dan tradisi yang menjadi kekuatan masyarakat.

Pihaknya meyakini, dengan inovasi serta kreativitas, festival itu beserta Bendung Kayangan bisa menjadi magnet kunjungan wisatawan.

"Di sini sudah punya ikon wisata budaya dan religi. Ini akan menjadi brand kuat dan kami optimistis even budaya ini akan bertahan dan berkembang baik jika melihat semangat warga,"jelasnya.

Seniman Yogyakarta yang juga penggagas Kembul Sewu Dulur, Godod Sutejo mengatakan pihaknya mulai mengemas tradisi yang awalnya sederhana itu pada sekitar 1990.

Namun, pengemasan itu tidak melupakan nilai budaya dan tradisi dari warga sekitar.

Wakil Bupati Kulon Progo, Sutedjo yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan festival itu memberi manfaat bagi masyrakat untuk terus menggelorakan semangat persatuan dan gotong royong.

Pemerintah Kabupaten Kulon Progo pun mengapresiasinya.

Apalagi, banyak budayawan dari luar desa yang turut serta meramaikan kegiatan itu sehingga jadi aspek positif dalam pengembangan budaya dan wisata setempat.(TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved