Yogyakarta
KSPSI: Kenaikan Upah 8,03 Persen Hanya Akan Perpanjang Status DIY Sebagai Provinsi Termiskin di Jawa
Rencananya, Pemerintah Daerah DIY akan menetapkan UMP dan UMK di DIY pada 1 November 2018 mendatang.
Penulis: Wahyu Setiawan Nugroho | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Rencananya, Pemerintah Daerah DIY akan menetapkan UMP dan UMK di DIY pada 1 November 2018 mendatang.
Kenaikan UMP dan UMK didasarkan pada PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang mana angkanya akan naik 8,03 persen dari tahun sebelumnya.
Dewan Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY menilai angka tersebut tentu masih dibawah standar kebutuhan hidup layak (KHL) di DIY.
Menurutnya hal tersebut yang menjadi masalah utama dalam hal kemiskinan serta ketimpangan ekonomi yang terjadi di DIY.
Hal ini disampikan oleh Irsyad Ade Wirawan, Wakil Sekertaris KSPSI DIY disela aksi massa menolak penetapan UMP dan UMK oleh Pemda DIY di titik nol kilometer Yogyakarta, Rabu (31/10/2018).
Baca: SPSI Minta Gubernur DIY Evaluasi Kebijakan Pengupahan
Pihaknya menilai, rendahnya Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota (UMK) yang ditetapkan berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menjadikan ketimpangan ekonomi di DIY akan semakin terasa.
"Dengan upah murah tentunya daya beli menjadi menurun," katanya kepada media di lokasi.
Selain itu, penolakan UMP dan UMK yang rencananya akan diketok pada 1 November 2018 dan akan mulai diberlakukan pada 2019 justru akan memperpanjang status DIY sebagai provinsi termiskin di pulau jawa.
Berdasarkan data BPS, lanjut Irsyad, pada Maret 2018, Provinsi DIY masih menempati ranking 23 provinsi termiskin di Indonesia serta Provinsi termiskin di Pulau Jawa.
"Angka kemiskinan per Maret 2018 adalah 12,13 persen dengan jumlah penduduk miskin mencapai 460,10 ribu jiwa," kata Irsyad.
Baca: Tuntut Kenaikan Upah, Masa FPPI dan KSPSI Gelar Aksi Teatrikal di Kantor Disnakertrans
Masih menurut data BPS DIY, garis kemiskinan di DIY pun pada Maret 2018 adalah Rp 409.744 per kapita per bulan.
DIY pun juga telah melabeli diri sebagai provinsi dengan angka ketimpangan ekonomi tertinggi di Indonesia.
Gini Ratio di Yogyakarta mencapai 0,441 atau naik 0,009 angka rasio.
Tentu hal ini akan diperparah jika pemerintah provinsi masih menetapkan UMP dan UMK berdasarkan PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menggunakan rumus perhitungan kenaikan berdasarkan upah minimum berjalan ditambah pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

"Kehidupan buruh dan keluarganya akan semakin tidak layak," katanya.
Oleh karenanya, pihaknya menolak besaran UMP dan UMK di DIY yang dihitung berdasarkan PP 78 tahun 2015 yang mana angka UMP DIY di 2019 hanya akan naik sebesar 8,03 persen menjadi sebesar Rp 1,570 juta.
Sementara UMK Yogyakarta pada angka Rp1,846 juta, Kabupaten Sleman Rp1,701 juta, Kabupaten Bantul Rp1,649 juta, Kabupaten Kulonprogo Rp1,613 juta dan Gunungkidul Rp1,572 juta
"Angka ini hanya akan naik 100-200ribuan saja," katanya.
Baca: Massa Demo Menolak PP 78/2015 dan Menuntut Kenaikan Upah
Menurutnya, angka itu sangat rendah dibanding kebutuhan hidup yang semakin tinggi.
Sementara berdasarkan survei yang telah mereka lakukan serta berdasakan pada Permenakertrans tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, UMP Provinsi DIY harusnya berada pada angka Rp 2,5 juta.
Sedangkan untuk UMK 2019 yang sesuai dengan Kehidupan Hidup Layak, yakni berada pada angka Rp 2.911.516 untuk upah Kota Yogyakarta, sedangkan Kabupaten Sleman Rp 2.859.085, Kabupaten Bantul Rp 2.748.289, kabupaten Kulonprogo Rp 2.584.273 dan kabupaten Gunungkidul sebesar Rp 2.440.517.
"Hal ini (penetapan upah minimum 8,03 persen) tentu menjadi kontradiktif dengan mandat konstitusi UUD 1945 yang menetapkan bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan," pungkasnya.
Dalam aksi ini, massa yang tergabung dari DPD KSPSI DIY, DPC KSPSI Bantul, dan FPPI Kota Yogya menggelar aksi orasi ditengah titik nol kilometer Yogyakarta.
Mereka membawa spanduk dan atribut yang menolak upah murah serta penetapan upah berdasarkan pada PP 78/2015.(TRIBUNJOGJA.COM)