Bandara NYIA Kulonprogo
Penolak NYIA Enggan Berkomunikasi, Pemkab Kulonprogo Sulit Tentukan Langkah
Pemkab Kulonprogo kesulitan menyelesaikan permasalahan terkait konflik sosial seputar New Yogyakarta International Airport.
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Pemerintah Kabupaten Kulonprogo kesulitan menentukan langkah untuk menyelesaikan permasalahan terkait konflik sosial seputar New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Hal itu terhambat sikap bertahan warga penolak bandara yang juga menutup diri atas komunikasi dengan pemerintah.
Sekretaris Daerah Kulonprogo, Astungkara mengatakan pendekatan untuk permasalahan yang terjadi di Temon itu sudah beberapa kali dirapatkan oleh stakeholder terkait.
Terutama terkait pemindahan warga yang sebelumnya masih berada dalam areal lahan proyek pembangunan NYIA.
Sejumlah solusi ditawarkan sebagai hunian sementara seperti penyediaan rumah sewaan PT Angkasa Pura I maupun rumah susun dan magersari oleh Pemkab.
Baca: Warga Penolak NYIA Kembali ke Lokasi Reruntuhan Rumah, Pemkab Kulonprogo Akui Prediksinya Meleset
Hanya saja, tawaran itu dimentahkan warga yang kemudian malah lebih memilih tinggal di tenda darurat dan menumpang rumah warga lainnya.
Sebagian warga bahkan masih mendiami Masjid Al Hidayah di Kragon II Palihan sebagai satu-satunya bangunan masjid yang masih berdiri di dalam pagar lahan proyek.
Dimungkinkan mereka baru akan pindah apabila masjid tersebut dirobohkan di kemudian hari.
"Kami berupaya agar mereka bisa menyelesaikan urusan konsinyasi (kompensasi pembebasan lahan). Tapi komunikasinya agak rumit dan terhambat jika akan dibantu," kata Astungkara, Senin (30/7/2018).
Kompensasi pembebasan lahan warga yang masih dikonsinyasi di Pengadilan Negeri Wates mencakup lebih dari 30 kepala keluarga (KK) penolak NYIA dengan total nilainya mencapai Rp30 miliar.
Ini mencakup warga yang kini masih bertahan di dalam maupun di luar area pagar lahan proyek.
Astungkara mengatakan ada satu KK yang mendapatkan nilai penggantian tekronsinyasi hingga Rp1,5 miliar.
Jika warga bersedia mengambilnya, mereka bisa memebeli tanah lagi atau membangun rumah kembali sebagai modal untuk melanjutkan hidupnya.
Hal itu tentu tidak bisa mereka lakukan bila tetap bertahan menolak untuk mencairkan dana tersebut.
Baca: Kemelut Lahan NYIA, Komnas HAM Minta Semua Pihak Tahan Diri
Sementara saat ini warga juga tidak memiliki penghasilan kendati terus bertahan di dalam area lahan pembangunan.