Bantul
TPST Piyungan Kewalahan Olah Sampah
Tiap hari ada 150 sampai 170 truk pengangkut sampah membuang sampah di TPST Piyungan.
Penulis: Susilo Wahid Nugroho | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan semakin berada dalam kondisi yang jauh dari layak sejak mulai dibuka tahun 1996 lalu.
Kini setelah 22 tahun beroperasi, TPST ini membutuhkan penanganan segera dari pihak Pemerintah Provinsi DIY.
Tak maksimalnya sistem pengolahan sampah layak menjadi salah satu kajian mengapa TPST Piyungan ini perlu segera ditangani.
Baca: Sempat Berhenti Beroperasi, TPST Piyungan Kembali Terima Sampah
Karena sejauh ini, sistem pengolahan sampah secara alami atau yang disebut Sanitary Landfill masih diterapkan di tempat ini.
Padahal, dirasa tak efektif lagi.
Sanitary Landfill adalah sistem pengolahan sampah dengan menumpuk di lokasi cekung, memadatkannya kemudian ditimbun dengan tanah.
Sistem ini paling menghemat biaya tapi beresiko mencemari tanah dan air akibat rembesan cairan kimia dalam sampah.
Atau, munculnya gas metana.
Kepala Balai Pengelolaan Infrastruktur Sanitasi, dan Air Minum Perkotaan (PISAMP) DIY, Agung Satrio mengatakan, sistem Sanitary Landfill yang diterapkan di TPST Piyungan ini kini sudah menghasilkan gunung sampah yang cukup tinggi.
Luasannya, sudah hampir memenuhi area TPST.
“Lahan TPST Piyungan yang diperuntukkan untuk sampah adalah 10 hektar. Saat ini masih bisa dipakai untuk lokasi pembuangan sampah lima hektar. Sisanya tidak mungkin lagi untuk membuang sampah,” kata Agung pada Tribunjogja.com belum lama ini.
Menurut Agung, luasan tersebut makin lama akan semakin berkurang.
Masifnya area gunung sampah di TPST Piyungan ini karena sistem Sanitary Landfill tidak bisa secara cepat mengurangi volume sampah hasil buangan.
Proses penghancuran sampah, tergantung dari bahan pengurai dari alam.
Seperti cacing, maupun hewan pengurai lainnya.
Kondisi ini semakin diperparah dengan volume sampah yang terus bertambah tiap harinya.
Menurut Agung, tiap hari ada 150 sampai 170 truk pengangkut sampah membuang sampah di TPST Piyungan.
Jika ditimbang, ada sekitar 500 ton sampah atau jika dihitung luasannya mencapai 750 meter kubik.
Rusaknya sejumlah alat berat yang dimiliki TPST Piyungan beberapa hari lalu menjadi satu di antara bukti, bahwa TPST ini sebenarnya sudah tidak kuat menampung banyaknya sampah yang masuk.
Karena mesin tersebut, beroperasi lebih dari 12 jam sehari, yaitu sejak pukul 08.00 pagi sampai 22.00 malam.
Bukan tanpa upaya, pemerintah daerah sebenarnya telah menghimbau agar terminal sampah di kota dan masing-masing kabupaten mengolah sampah terlebih dahulu demi mengurangi sampah yang dibuang ke TPST. Sayang, upaya ini tak berjalan mulu. “Cuma tereduksi 10 persen,” kata Agung.
Baca: Alat Berat Rusak, TPST Piyungan Tak Bisa Terima Sampah
Pengadaan Insenerator sempat disampaikan ke Pemrov untuk mempercepat penghancuran sampah.
Tapi pengajuan alat ini belum juga mendapat restu.
Disinyalir, keterbatasan dana dari menjadi sebab mengingat harga alat yang mencapai Rp 300 miliar untuk peruntukkan sampah seluas TPST Piyungan.
Belum lagi resiko yang tetap memunculkan dampak negatif lingkungan.
Insenerator, atau alat pembakar sampah yang di operasikan dengan menggunakan teknologi pembakaran pada suhu tertentu agar sampah terbakar habis ini berisiko menghasilkan polusi udara dari sisa pembakaran.
Oleh sebab itu, pihak TPST menurut Agung memilih tetap menerapkan sistem Sanitary Landfill sembari mencari solusi bersama Pemprov DIY meski pengolahan sampah tidak efektif.
“Karena kemampuan kami hanya dengan menimbun sampah dengan tanah, tapi akan terus dilakukan kajian,” katanya. (*)