Family
Pentingnya Peran Orangtua dalam Meminimalisir Aksi Klitih di DIY
Rata-rata pelaku klitih yang ditangkap oleh Polda DIY berusia di bawah umur 17 tahun.
“Biasanya aksi klitih tidak terencana, seperti kasus korban mahasiswa UGM yang meninggal dan kasus pembacokan di wirobrajan, awalnya mereka berkumpul di burjo dengan membawa lima motor berboncengan,” katanya.
Muhtar mengaku prihatin terhadap para remaja yang melakukan aksi klitih yang menyebabkan korban yang dibacok akhirnya meninggal dunia.
Dia juga tidak menyangka bahwa pelaku klitih ini umumnya penduduk asli Yogya.
“Antara lucu, sedih, dan tragis, saya mengangap Yogya punya budaya yang khas orang Jawa, tidak suka kekerasan, tidak suka menggunakan senjata tajam. Tapi semua yang kami periksa, pelakunya asli orang Yogya meski beberapa ada pendatang,” tuturnya.
Dosen Psikologi UGM, Dr Arum Febriani MA mengatakan penelitian yang mereka lakukan terhadap pelaku klitih yang saat ini masuk dalam pengawasan Lembaga Pembinaan Khusus Anak diketahui para pelaku ini sebagian besar adalah laki-laki meski ada satu orang perempuan.
Setelah dilakukan tes psikologi diketahui para pelaku aksi klitih ini memiliki kematangan emosi yang rendah dan kurang mendapat perhatian dan pengawasan dari orangtua.
Dikatakan Arum, relasi buruk dengan orangtua dan pernah memiliki riwayat kekerasan fisik di keluarga menjadikan para pelaku ini memiliki komitmen kuat dengan kelompok geng sekolah karena merasa senasib.
“Semua pelaku merasakan hilangnya figur ayah mereka, selalu merindukan sosok Ayahnya,” katanya.
Dari penelitian tim psikologi UGM ini juga diketahui para pelaku aksi klitih ini memiliki motivasi rendah di bidang akademik karena motivasi belajar yang rendah dan pernah memiliki riwayat drop out dari sekolah.
Disamping hubungan keluarga yang kurang harmonis.
“Mereka memiliki kematangan emosi yang buruk, hubungan dengan ayah dan ibu kurang hangat tapi kedekatan dengan kelompok sangat kuat, bahkan mereka mengaku rela mati demi kelompok geng tidak masalah bahkan merasa terhormat,” pungkasnya.
Sosiolog UGM Drs Soeprapto SU, mengatakan aksi klitih terjadi sejak adanya peraturan dari Walikota Yogyakarta yang menindak tegas peserta aksi tawuran dengan ancaman mengeluarkan mereka dari sekolah.
Alhasil antar geng sekolah mencarikan musuhnya sendiri dengan melakukan aksi klitih.
Lemahnya pengawasan dari orangtua dan sekolah menjadikan pelajar bisa direkrut masuk menjadi anggota kelompok geng yang melakukan perbuatan menyimpang.
“Makin melemahnya fungsi keluarga karena orangtua tidak melakukan sosialisasi budaya, nilai dan norma," ujarnya.
Baca: Wali Kota Yogyakarta Meminta Seluruh Elemen Masyarakat Bersama Antisipasi Aksi Klitih