Mengenang Letusan Dahsyat Gunung Krakatau yang Membuat Dunia Gelap dan Memisahkan Jawa-Sumatera
Gunung Anak Krakatau mulai muncul pada 1927, dari kawasan kaldera purba Krakatau.
Penulis: say | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM - Gunung Anak Krakatau meletus setinggi lebih kurang 1 km, Senin (25/6/2018) pukul 07.14 WIB.
Saat ini, tingkat aktivitas gunung tersebut dinaikkan menjadi Waspada (Level II).
Gunung Anak Krakatau merupakan gunung baru.
Sebelum terbentuk Anak Krakatau, gunung Krakatau telah meletus dahsyat dua kali, yang menghancurkan tubuh gunungnya sendiri.
Gunung Anak Krakatau mulai muncul pada 1927, dari kawasan kaldera purba Krakatau.
Anak Krakatau semakin bertambah tingginya, karena kaldera yang masih aktif.
Sebelum terbentuk menjadi Anak Krakatau, gunung Krakatau pernah dua kali meletus dahsyat.
Pada 27 Agustus 1883 pukul 10.02, Krakatau meletus dahsyat selama 20 jam 56 menit.
Ledakan terbesar terjadi empat kali, di mana gemuruhnya terdengar hingga Perth, Australia, yang berjarak 4.500 kilometer, seperti tertulis di buku Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883.
Letusan ini menimbulkan korban jiwa hingga 36.000 orang.
Kebanyakan tewas akibat tsunami setinggi 36,5 meter, yang terjadi akibat letusan.
Sebelum puncak letusan itu, Krakatau telah menyemburkan awan gas dan material vulkanik setinggi 24 km sehari sebelumnya.
Namun, penduduk yang berada di lokasi terdekat tidak menyadari bahaya yang mengintai.
Letusan Tahun 535
Sekitar 1300 tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 535, gunung Krakatau purba juga meletus dahsyat.
Seperti TribunJogja.com kutip dari Geomagz Geologi ESDM, letusan puncaknya terjadi selama 34 jam.
200 km3 material vulkanik seperti debu halus, pasir, kerikil, hingga bom dilontarkan ke stratosfer, sehingga menutupi sinar matahari,
Dunia menjadi gelap akibat letusan Krakatau kuno ini.
Suhu udara di Khatulistiwa juga dilaporkan turun 10C.
Terlalu banyaknya material yang dimuntahkan membuat tubuh gunung tersebut ambruk, menghasilkan kaldera 40 km x 60 km dan membentuk Selat Sunda, sehingga memisahkan Jawa dan Sumatera.
Seorang bishop Suriah, John dari Efesus, menulis sebuah chronicle di antara tahun 535 – 536 M.
“Ada tanda-tanda dari Matahari, tanda-tanda yang belum pernah dilihat atau dilaporkan sebelumnya. Matahari menjadi gelap, dan kegelapannya berlangsung selama 18 bulan. Setiap harinya hanya terlihat selama empat jam, itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan bahwa Matahari tak akan pernah mendapatkan terangnya lagi," demikian tertulis di chronicle tersebut.
Dokumen lainnya dari Dinasti Cina mencatat: ”suara guntur yang sangat keras terdengar ribuan mil jauhnya ke barat daya Cina”. (*)