Gunungkidul
Kisah Tunanetra asal Gunungkidul, Bertahan Hidup dari Menganyam Tikar
Wahyuni mengungkapkan meskipun telah berbeda kartu keluarga, Painem belum memperoleh bantuan jaminan hidup (jadup).
Penulis: Wisang Seto Pangaribowo | Editor: Ari Nugroho
Laporan Calon Reporter Tribunjogja Wisang Seto Pangaribowo
TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan Painem (67) warga dusun Gentungan, Kedungpoh, Nglipar, Gunungkidul.
Matanya mengalami kebutaan saat berusia 14 tahun.
Namun demikian, jemarinya terampil menganyam tikar tiap harinya walaupun telunjuk tangannya sudah sulit ditekuk akibat penyakit stroke yang dideritanya beberapa waktu lalu.
Setiap bulannya ia menyelesaikan 4 anyaman tikar.
Jika telah selesai ada pengepul dari Wonosari yang menampung hasil karyanya.
Satu anyaman tikar ia jual ke pengepul seharga 30 ribu rupiah.
"Setiap bulan ada pengepul yang datang, satunya dibeli dengan harga 30 ribu per tikar, total dalam satu bulan 120 ribu," terang Painem, Senin (30/4/2018).
Terkait kondisi matanya, Painem mengaku tidak mengetahui penyebab kebutaannya.
Baca: Kisah Herlina Kasim, Sebulan di Hutan Belantara Hingga Merangkak di Bawah Desingan Peluru Belanda
Waktu itu ia sudah memeriksakan keadaan matanya ke dokter spesialis mata tetapi kata dokter keadaan matanya tidak ada kendala.
"Saat itu saya tidak sengaja menyiram air panas ke sebuah makam, beberapa hari kemudian lama kelamaan pandangan buyar dan menjadi buta," tuturnya.
Ia hidup bersama keluarga adiknya, anak-anaknya telah berkeluarga dan memutuskan hidup di Salatiga, sementara suaminya telah meninggal cukup lama.
Sebelum ikut keluarga adiknya, painem memiliki rumah sendiri, namun semenjak terkena stroke dan menghambat kegiatannya lantas sang adik mengajak tinggal bersama.
"Saya mengajak kakak saya karena setelah kena stroke tangan kanannya kesulitan digerakkan, dan saya tidak kuat kalau harus bolak-balik kerumahnya," terang sang adik, Wahyuni.